CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Wednesday, May 25, 2011

Lanjutan Birthstones (10)


“ Miss, Hartman, benar?” tanya Miss Fawcett.
“ Ya, Miss, benar.” jawabku sederhana.
“ Ada sesuatu yang ingin kau bagi dengan kami?” tanyanya lagi.
“ Tidak, Miss, tidak ada.”
“ Kalau begitu perhatikan pelajaranku, tak bisa kupungkiri, essay-mu mengenai Wuthering Heights itu luar biasa, Hamlet sedikit tidak konsisten, tapi kau memukauku dengan diksi-mu yang luar biasa, tapi bukan berarti kau bisa bebas melakukan apa saja di kelasku, miss…” katanya dengan suara tenang namun tajam.
“ Baik, miss, maafkan saya.” ujarku menundukkan kepala, namun memutar bola mataku.

Ketika dia akhirnya kembali kedepan kelas, aku mulai menggambari kertasku lagi. Aku sebal dipermainkan guru seperti itu, tapi toh aku juga salah, tapi sungguh, benarkah dia membutuhkan waktu begitu lama untuk mengerti puisi karya Frost? Aku sudah hafal puisi itu saat aku berumur 13 tahun dan menulis essay-nya seminggu kemudian untuk tugas Bahasa Inggris dan aku mendapat A+. Oh, yang benar saja…

Bel berdering tak lama kemudian, Theo langsung bangkit berdiri, dia berjalan melewati mejaku dan menyenggol tas-ku, isinya jatuh semua, aku hendak memprotes, namun dia hanya bergumam meminta maaf dan terus berjalan, aku cemberut kearahnya. Kupunguti buku - bukuku, I-pod, dan segalanya.

“ Mau kubantu, Al?” tanya Jinx dari jauh.
“ Tidak, kalian duluan saja, nanti aku menyusul.”
“ Oke” jawabnya lalu berlalu bersama Samuel.

Aku berkonsentrasi mengumpulkan semua alat tulisku yang tercecer. Ketika aku bangkit, aku melihat Ted berdiri tepat dihadapanku. Aku sontak mundur karena kaget.

“ Mau apa kau?” tanyaku kasar.
“ Jangan begitu kucing manis, aku hanya mau bicara sebentar.”
“ Kau sebaiknya pergi.” ujarku lalu meninggalkannya, dengan sengaja membenturkan bahuku ke bahunya ketika berjalan, aku meringis saat rasa sakit menghujam bahuku yang memang kecil.
“ Kau seharusnya tidak sekasar itu, Alice, belajarlah untuk bersikap sopan.” Aku berhenti berjalan ketika mengenali suara yang mengatakan itu, aku berbalik.
“ Mona?” tanyaku tak percaya.
“ Ya, kau sungguh bodoh, sungguh lemah. Pemilik birthstone termuda, paling tak tahu apa-apa, padahal yang sebelum ini lebih asyik.” ujarnya kejam.
“ Apa maksudmu dengan…” ujarku hendak bertanya, namun detik berikutnya Mona terlempar ke dinding dan terlihat seolah dirinya tercekik.
Stay Away.” Tara tiba-tiba masuk kelas dengan Josh disampingnya.
“ Sial!” ujar Ted, dia berlari lalu mendorong Tara dan menekannya ke dinding.
“ Habisi dia! Si aquamarine itu! Cepat!” teriak Ted saat berhasil mengunci Tara.

Mona lalu memberiku tatapan seperti yang di Gimnasium waktu itu. Aku ngeri dan mundur beberapa langkah, Mona menatapku semakin tajam, dahinya berkerut frustasi, senyumnya mengendur dan mulai memperlihatkan wajah geram. Ted dan Tara menghentikan perkelahian mereka, melongo manatapku. Josh sekarang hanya berjarak 60 senti dibelakangku, aku terus mundur dengan konstan.

“ Sial!” jerit Mona, membuatku terlonjak, aku sekilas melihat Tara menampar Ted begitu keras hingga Ted terpelintir dan jatuh, lalu dia menjejakkan kakinya sekuat tenaga ke hidung Ted, aku mendengar suara berkeretak saat hidungnya patah.

Josh menarikku keluar kelas, Tara membuntuti di belakang kami. Aku yakin kami tidak menuju kafetaria. Kami membelok menuju perpustakaan sekolah. Penjaganya tidak ada. Tidak ada satu siswa-pun disana. Josh menarikku ke meja terdekat dan menyuruhku duduk. Tara mengeluarkan sandwich dan sebotol susu dari tasnya.

“ Maaf kalau isinya sudah berantakan, karena yang tadi, kau tahu” ujarnya, menyodorkan makanan padaku.
“ Thanks, tapi aku tidak lapar” ujarku singkat “ Omong - omong, sedang apa kalian disana?” tanyaku.
“ Kami memang mencarimu, aku bingung setengah mati ketika keluar dari kelas Trigono dan tiba tiba Josh sudah marah - marah dan mengajakku melihat ke kelasmu. Aku belum pernah melihat Josh marah seperti itu, well, tidak sejak…” ujar Tara, namun terhenti.
“ Sejak apa?” tanyaku.
“ Lupakan saja, ayolah, kau benar - benar harus makan” ujar Tara, mendorong sandwichnya lebih dekat kearahku.
“ Aku tidak lapar.” jelasku lagi.
“ Kumohon.” pinta Josh, dia tiba tiba datang membawa beberapa buku yang tebal.
“ Oke, baiklah.” ujarku, tetapi pada gigitan pertama, aku tersedak, lalu memuntahkannya keluar.
“ Apa, kenapa?” ujar Josh, langsung memegangi tanganku, menarik - nariknya.
“ Tidak, aku hanya mual, itu saja.” ujarku.
“ Oh, astaga, hidungmu.”
“ Kenapa?” tanyaku, merasakan sesuatu yang hangat mengalir, aku pastilah mimisan.
“ Ya, Tuhan, pertama kalinya aku mimisan, ternyata keren juga…” ujarku melantur.
“ Kau ngomong apa sih? Ini bisa jadi efek dari…” ujar Josh.
“ Dari apa? oh, ayolah, jangan membuatku penasaran.” ujarku sambil mecari tisu di tasku yang isinya berantakan, tanganku yang lain memegangi hidung.
“ Tunggu.” ujarnya, meraih tanganku yang memegangi hidung lalu menatap darahku lekat - lekat
“ Astaga, apa - apaan sih, kau?” ujarku, berusaha menarik tanganku, darah menetes menodai jeansku.
“ Maaf, dan ini, pakai ini saja.” ujarnya, meraih sapu tangan dan menyerahkannya padaku, aku menggunakkannya untuk membersihkan hidungku yang memang sudah penuh darah.
“ Lihat dia, seperti orang stress” ujar Tara lalu menggelengkan kepalanya.
“ Siapa? Josh? Bukannya dia memang sinting?” ujarku lalu tertawa kecil.
“ I hear that.” ujar Josh dibalik bukunya yang begitu tebal.
“ What is that?” tanyaku sambil menganggukkan daguku kearah bukunya.
“ Nothing.” katanya dengan datar, membuatku kesal setengah mati.
“ Tara, kau bisa jelaskan, kan?”
“ Jelaskan? Jelaskan apa?”
“ Apa yang sebenarnya terjadi, semuanya. Kumohon, aku butuh tahu tentang ini, aku bisa mati karena kalian tidak memberitahuku apa - apa.” aku pun memohon.
“ Kurasa sebaiknya kita tunggu Josh yang menjelaskan, oke?” kata Tara yang lalu melirik Josh.
“ Ugh! Ini menyebalkan! Josh, jelaskan, kumohon?”
“ Dasar bodoh!”
” Apa?!” tukasku tak terima.
“ Begini, Alice, sudah berapa puluh kali aku mecoba memberitahumu? Hmm? Mungkin sudah ratusan kali, dan tidak ada yang kau dengarkan.” ujarnya, sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari bukunya.
“ Maksudmu, sesuatu tentang birthstones itu?” tanyaku.
“ Menurutmu yang mana lagi, hah?”
“ Jadi… aku pemilik aquamarine, begitu?”
“ Ya.” akhirnya mengalihkan pandangannya dari buku tebalnya itu.
“ Oke, dan kalung ini?”
“ Sumber kekuatanmu, jaga baik - baik, hanya dengan itu kita bisa menjadi makhluk abadi.”
“ Maksudmu seperti… vampir?” tanyaku, tersenyum miring.
“ Schhh, vampir tidak ada, beberapa tahun terakhir ini, kami, maksudku aku, Jinx, Tara dan yang lainnya, mencarimu, si aquamarine, yang selalu jadi perebutan, untungnya kau selalu bereinkarnasi.” tuturnya.
“ Bereinkarnasi?”
“ Kau sudah mati 3 dekade yang lalu.”
“ Apa?”
“ Kau mati, lalu jiwa pemilik aquamarine yang sebelumya berpihak kepada jiwa - jiwa terpilih. Oh astaga, kau benar - benar tak ingat apapun?” keluhnya.

Bel berdering, membuatku terlonjak. Josh menyuruhku mengikuti kelas berikutnya, aku menurut, memasukkan beberapa buku yang telah diberikan Josh, buku itu berisi tulisan tangan yang sudah benar - benar tua, kertasnya sudah menguning. Kumasukkan kedalam tasku. Lalu aku berjalan menuju kelas Biologi bersamanya. Kami tidak banyak berbicara, lagipula ini tempat umum dan akan sangat mengherankan kalau kau berbicara tentang “makhluk abadi-reinkarnasi-visi tentang masa depan” dan sebagainya.

Di kelas Biologi, Samuel tiba - tiba bangkit dan menyuruh Josh duduk di kursi disebelahku, meskipun akhirnya Mr. Barron menyuruh Josh kembali ke kursinya lagi. Aku sekilas meneliti ruangan dan terkejut setengah mati ketika menemukan Ted duduk di tempatnya yang biasa dan tersenyum bengis kepadaku, hidungnya sudah betul lagi, ingin betul aku mematahkannya untuk yang kedua kali.

Wednesday, May 18, 2011

Lanjutan Birthstones (9)


Aku bisa merasakan segalanya, sakit di sekujur tubuhku, hangatnya darah yang mengalir dari kepalaku, luka kecil di sudut bibirku yang mulai terasa perih. Dinginnya angin hutan.

Lalu sesuatu menyentuhku.

Seperti memeriksaku, lalu aku merasakan diriku terangkat dari tanah, ada yang menggendongku. Rasa sakit justru semakin menekan dan memaksaku tetap di alam tidak sadar. Aku ingin berontak, tapi akhirnya aku tetap tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku kehilangan orientasi waktu. Tetapi beberapa saat kemudian aku disandarkan dan hanya dalam beberapa menit, rasanya, aku-pun siuman.

Hal pertama yang ingin kulakukan adalah lari secepat mungkin, tetapi aku mengurungkan niatku dan mulai menginventarisir tempatku berada kini.

Aku berada di sebuah lapangan bentuknya tak beraturan, tetapi ini memang lapangan. Aku disandarkan di bawah pohon maple. Beberapa meter jauhnya, ada api unggun yang sesekali meretih dan menyemburkan bunga api ke angkasa. Aku mencium bau masakan gosong. Perlahan aku berdiri dan mulai menghampiri api unggun itu. Kulihat ada tiga ekor burung yang ditancapkan di kayu dan didekatkan ke api unggun itu. Aku merasakan perutku berbunyi saat mencium bau burung bakar itu. Kemudian aku sadar, api dan makanan hanya akan ada kalau disekitarnya ada.. seseorang.

Aku menoleh dengan panik, nyaris menjerit. Tetapi mulutku dibekap.

“Ssssst… ini aku, ini aku, kau tak perlu takut” kata orang itu.

Lalu aku memeluknya erat dan menghela napas lega. Aku aman sekarang.

***
Aku membuka mata, tidak menjerit kali ini. Aku berbaring telentang diatas tempat tidurku. Pelipisku berkeringat dan aku mulai merasa tenang beberapa detik kemudian. Aku sedang malas berkomentar tentang mimpiku. Aku lagi - lagi bermimpi aneh. Aku berdiam diri selama beberapa menit. Duduk di ujung tempat tidur. Bunyi alarm-lah yang membuatku bergerak dari posisiku. Dengan kaku aku mengambil handuk dan tas peralatan mandiku lalu bergerak menuju kamar mandi

Selesai mandi aku memakai kemeja hijau tua dan jeans yang sudah lama tak kupakai. Badanku yang cenderung kurus memang membuat banyak baju lama masih terpakai olehku. Aku benar - benar pucat hari ini. Menyisir rambutku dengan jari seadanya, aku berjalan menuju dapur.

“ Pagi, Alice.” sapa Mom begitu aku sampai di dapur.
“ Hai, Mom.” balasku seadanya.
“ Hari ini aku membuat pancake.” kentara sekali Mom sedang memaksaku berbicara.
“ Mmm.” gumamku.
Hening yang cukup lama, hingga akhirnya Mom berkata.

“ Alice, aku mengerti kalau hari pertama sekolah memang tidak pernah mudah buatmu, tetapi kalau menurutmu akan lebih baik jika kau homeschooling, aku bisa…”
“ No, Mom, thanks.” kataku singkat.
“ But you look so pale, I can’t..”
“ Mom, aku cuma punya sedikit masalah, aku baik baik aja. I’ve planned to apologize, jadi tenang aja, Mom.” jelasku panjang lebar.
Well, if that’s the best..” Mom lalu beranjak keluar dapur untuk memanggil Dad.

Kami makan dalam diam, Dad tidak terlalu banyak bertanya. Aku benar - benar bersyukur akan fakta bahwa Dad bisa mengerti aku. Aku-pun memutuskan untuk berangkat sekolah. Dad memaksa untuk mengantarku, tetapi aku menolak. Audi-ku belum datang, jadi aku harus memakai Mercedes Mom lagi hari ini. Hebat.

Aku mengemudi hati - hati. Berusaha untuk tidak mencelakai diriku sendiri saat menginjak pedal gas. Hanya dalam 15 menit sekolah sudah terlihat. Aku memarkir mobilku lebih jauh dari kemarin, aku tiba sedikit lebih pagi jadi hanya ada beberapa murid yang baru tiba. Tidak mau menjadi yang pertama tiba, aku berdiam diri di mobilku sambil merenungi dan memikirkan apa yang akan kukatakan kepada Josh, Jinx, Tara, dan yang lainnya. 15 menit kemudian aku memutuskan untuk keluar dari mobil dan berjalan menyusuri lorong yang masih sedikit kosong. Kelasku juga masih kosong, tapi aku duduk di tempat yang sama dengan kemarin. Beberapa menit kemudian, beberapa anak sudah mulai memasuki kelas dan aku mencoba untuk membalas senyum mereka sebaik mungkin. Tapi… dimana Josh?

“ Halo, kucing manis” kata sebuah suara.
“ Ap…” aku hendak menjawab, tetapi kuhentikan begitu melihat siapa yang berbicara padaku.
“ Ted.” ujarku datar.
“ Kau masih ingat padaku?” tanyanya menyunggingkan senyum lebar yang bengis.
“ Tentu saja aku masih…” kataku tetapi terhenti begitu melihat siapa yang masuk kelas.
“ Selamat pagi, Ted. Kukira itu tempat dudukku.” ujar Josh dengan nada mengancam.
“ Yah… kurasa begitu, sampai nanti, kucing manis.” ujar Ted lalu duduk di bangkunya.
“ Thanks, aku tida…”
“ Ya, ya…” Josh memotong ucapanku lalu duduk disebelahku.

Selama pelajaran, Josh sama sekali tidak menegurku. Aku merasa tidak nyaman dengan fakta bahwa Josh sedang marah padaku. Ketika aku melirik Jinx, dia-pun melakukan hal yang sama, tidak tersenyum sama sekali. Aku berkonsentrasi pada Mr. Mc Killen. Mencatat lagi.

Ketika bel berdering, Josh tidak langsung membereskan buku - bukunya, tetapi aku langsung membereskan buku bukuku. Ketika aku hendak berdiri, dia memegang tanganku.

“ Kita harus bicara” kata Josh singkat. Dia bangkit dan menyuruhku mengikutinya.

Aku mengekor pada Josh hingga aku sadar kalau kami berjalan menuju kelas Pemerintahan. Aku memutuskan untuk tidak memulai pembicaraan, karena sepertinya Josh juga ingin bicara. Tapi beberapa detik kemudian, aku sudah tak sabar.

“ Josh, kalau ada yang ingin kau katakan, katakan saja.” ujarku .
“ Baiklah, tapi kumohon, kumohon, untuk sekali ini saja, dengarkan apa yang aku bicarakan, oke?” tanyanya, aku mengangguk.
“ Alice, aku adalah si topaz, pembaca pikiran, Tara adalah pearl, dia memiliki kemampuan untuk menghalangi serangan, semuanya, Jinx, Samuel, Theo, Max, George, memiliki kemampuan masing masing.”
“ Dan mereka semua memiliki liontin, sama persis, kecuali di bagian batunya.” kataku
“ Ya, benar.” jawabnya sabar.
“ Lantas, Jinx, dia lahir bulan September, batu kelahirannya memang safir, tapi aku tidak lahir bulan Maret.” Tuturku.
“ Tidak bergantung pada tanggal lahirmu, bergantung pada kekuatanmu.”
“ Maksudmu kalian seperti, kau tahu, super league atau semacamnya?” tanyaku.
“ Yah… kau bisa menyebutnya seperti itu.”
“ Ini… gila.”

Josh berhenti berjalan, dia menatapku lekat - lekat, aku jengah ditatap seperti itu, jadi aku memalingkan wajah.

“ Dengar, aku tidak tahu menahu tentang hal hal semacam ini, oke? Aku hanya Alice, seorang remaja normal.” kataku.
“ Aku sudah mengetahuinya, kau takkan percaya.” ujarnya pasrah.
“ Bukan itu… maksudku aku…”
“ Sudahlah, aku tak mau menyusahkanmu.” potongnya lagi.

Kami berhenti di depan kelas Pemerintahan, beberapa orang yang masuk memandang kami berdua. Aku diam saja.

“ Dengar, Josh, apapun yang telah kulakukan, aku minta maaf, sungguh.” kataku akhirnya.
“ Apa?” tanya Josh.
“ Aku minta maaf atas apapun yang telah kulakukan dan itu menyakitimu, aku minta maaf.” jelasku lagi.
“ Baiklah, permintaan maaf diterima.” jawabnya sambil tersenyum, lalu dia pergi.

Aku masuk kelas, beberapa anak memandangku heran. Jinx masih duduk sendiri, di tempat yang sama dengan minggu lalu. Aku tidak langsung duduk disebelahnya, aku berdiri, menunggu di samping tempat duduk hingga dia mengangkat kepalanya.

“ Boleh aku duduk?” tanyaku hati hati.
“ Tentu saja boleh.” jawabnya seakan jawaban itu sudah jelas.
“ Dengar, soal yang kemarin itu aku benar benar minta maaf, oke? Apapun yang…”
“ Sudahlah, lagipula kami tidak marah.” potongnya.
“ Terimakasih.” jawabku lega lalu duduk di kursi disebelahnya.

Pelajaran berlangsung tenang. Aku merasakan tatapan seseorang di punggungku. Detik -detik pertama, aku masih mengacuhkannya, tetapi hanya 10 detik berselang aku mulai merasa jengah dan aku-pun menoleh untuk melihat siapa yang memandangiku.

Rupanya Samuel, dia melihatku seolah - olah melihat sesuatu di dalam diriku. Dia menatap tepat ke mataku. Aku berusaha tersenyum, tetapi aku merasa kalau wajahku kaku. Aku-pun memalingkan wajah, aku yakin wajahku pasti memerah.

Pada akhirnya aku tidak mengerti apa yang diajarkan Mr. Rotter pada kami. Aku harus mengulang pelajaran di rumah, kalau begitu. Aku mengumpulkan buku - bukuku perlahan. Aku hanya setengah menyadari kalau Jinx menungguku.

“ Kenapa lama sekali sih?” tanyanya jengkel.
“ Ah, maaf, kurasa aku melamun.” jawabku asal dan langsung bangkit berdiri.

Aku dan Jinx berjalan dalam diam, sesekali aku merasakan tatapannya pada kalungku, lalu dia akan bergumam sendiri, sesuatu yang terdengar seperti ‘pasti dia’ atau apa. Aku mendiamkannya saja, pura - pura tidak mendengar dan tidak memperhatikannya.

Sesampainya di kelas, aku duduk di bangku yang sama dengan kemarin, bersama Theo. Dia diam saja waktu aku menarik kursi dan mendudukinya. Aku-pun terlalu takut untuk menyapanya. Jadi aku diam saja. Ketika Miss Fawcett masuk, aku menyerahkan tugas susulan-ku kepadanya. Dia hanya tersenyum sekilas dan menyuruhku duduk kembali.

“ Cepat juga, kau, Alice.” kata Theo.
“ Maksudmu?”
“ Aku saja butuh 3 hari untuk mengerjakan satu cerita dan kau menyelesaikan 3 buku dalam 1 malam.”
“ Aku sudah pernah membaca semuanya, jadi tinggal kubuat sinopsisnya.” terangku, merendahkan diri.

Ketika dia akhirnya tak juga menjawab, aku menaruh Wuthering Heights ku diatas meja dan membuka binderku asal, mulai menggambari pinggiran kertas yang masih kosong dengan ulir bunga, Miss Fawcett membacakan kutipan - kutipan puisi karya Frost yang sebagian sudah kuhafal. Ketika akhirnya aku mulai merasa bosan, aku mulai sadar kalau pinggiran bukuku sudah hampir penuh, sulur tanaman yang kugambar terlalu panjang, nyaris tak ada tempat untuk menulis. Aku memutuskan untuk terus menggambarinya. Hingga kemudian seseorang berdeham, aku mendongak.

***
Thanks for waiting! Ya Tuhaaaan, ini novel gak kelar kelar... doain aja biar cepet selesai, jadi gue cepet istirahat. capek tau! nulis novel setiap hari *curcol. ya.. segitu dulu kali ya... semoga para pembaca Birthstones tetep setia... Love you all! eh, kirim salam, buat semua anak 4 tangsel... Miss you guys!

Saturday, May 14, 2011

Lanjutan Birthstones (8)

Aku pun menurut dan berusaha agar tidak terjatuh saat dia memaksaku berjalan lebih cepat. Dia menyeretku tepat ke depan ruang Tata Usaha. Kurasa air mukaku sangat kebingungan sampai sampai Tara merasa perlu untuk menjelaskan segalanya padaku.

" berikan kertas tadi kepada pengurus Tata Usaha dan kembali, temui aku disini. Kau punya 3 menit dari sekarang" ujarnya tegas dan langsung mengangkat tangannya diatas dada untuk melihat jam tangannya.
" oh, ayolah.. yang benar sa.. "
" 2 menit 57 detik.. "

Aku memutar bola mataku padanya dan masuk ke ruang Tata Usaha. Aku menyerahkan kertas tadi kepada pengurus Tata Usaha, dia menanyakan apakah segalanya berjalan lancar. Aku berbohong dan mengucapkan terima kasih padanya lalu berjalan keluar.

Tak kusangka Tara masih disana, menungguku sambil melihat jam tangannya. Aku memutar bola mataku dan mengentakkan kaki, berjalan menuju mobilku dengan melipat tangan di dada. Aku sepenuhnya sadar kalau tindakanku kekanak kanakan dan kasar. Aku tidak suka dibenci orang. Tetapi yang kali ini benar benar keterlaluan, aku terus dijaga seperti seorang anak kecil yang gemetar ketakutan.

Beberapa meter dari mobil, aku melihat beberapa anak berkerumun disana. Astaga, pasti karena aku membawa Mercedes. Apa yang harus kulakukan? Menerobos mereka, begitu? Atau menunggu sampai mereka selesai dan menjauhi mobilku? Aku menghela nafas dan memutuskan untuk menuju mobil sekarang juga.

Ketika tinggal 3 meter dari mobil, salah satu dari mereka berbalik.

" Josh? Sedang apa kau disini?" tanyaku, mengehentikan langkah.
" tidak, tidak apa. Ayo, kita pergi" katanya lalu bergegas pergi, anak lain mengikutinya.

Aku bingung sekaligus kaget melihat tingkahnya. Apakah aku berbicara kasar? Setahuku aku sudah meminta maaf pada Josh. Oh, Tuhan kenapa aku mudah sekali membuat orang membenciku? aku pun masuk mobil lalu memasukkan kuncinya ke lubang starter.

" why am I SO BAD OF BEING GOOD?! " jeritku keras ketika aku sudah didalam dan memukul roda kemudi dengan keras hingga rasanya tanganku hampir patah. Mengelus tanganku, aku menyalakan mobil dan mulai mengemudikannya pelan pelan keluar lapangan parkir sekolah.

Aku tidak mau menangis, aku tidak mau menjadi seseorang yang lemah. Jadi kukuatkan diriku dan membeli beberapa pastry di toko roti yang kukunjungi beberapa waktu lalu. Lalu menuju supermarket untuk membeli kulit lasagna, tomat, daging ayam dan keju mozzarella.

Setelah itu aku pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buku. Tetapi koleksi bukunya sedikit sekali, jadi kuurungkan niatku. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang.

Aku mengemudi hati hati. Tidak pelan, tetapi tidak cepat juga. Aku sedang malas untuk ngotot mengebut di jalanan licin. Gerimis mulai turun saat aku memasukkan mobil ke garasi. Aku menghiraukan air yang membasahi rambutku ketika aku berjalan masuk ke rumah sambil menenteng kantung belanjaku. Ketika aku sampai di rumah, aku tak melihat Mom ataupun Dad. Aku meletakkan belanjaanku diatas meja ruang tamu dan langsung naik ke kamarku lalu bersiap siap untuk mandi. Kusambar handukku. Kunyalakan keran bath-ub dan berendam didalamnya sambil memikirkan kejadian di sekolah.

Kenapa mereka semua terlihat membenciku? Bahkan Jinx pun terlihat marah, apakah aku memang sangat bodoh dalam bergaul? Aku telah berusaha bersikap menyenangkan. Aku-pun telah meminta maaf kepada mereka. Apa sih yang sebenarnya kulakukan?

Dengan murung aku keluar dari bath-ub perlahan dan menghadapi bayanganku di cermin. Aku melirik sekilas kearah kalungku, lalu merenggutnya terlepas dari leherku. Aku memandangi liontin itu lekat lekat. Apakah ini penyebab mimpi burukku? Apakah kalung ini berpengaruh? Apa benar aku ini si aquamarine? Bagaimana kalau mereka mengatakan yang sesungguhnya?

Aku menghela nafas, aku mulai terdengar seperti Josh. Namaku alice, bukan aquamarine. Kupakai lagi kalung itu dan berjalan menuju kamarku untuk berganti piyama. Kupakai T-Shirt dan celana pendekku. Lalu kukeringkan rambutku dengan handuk. Kuambil handphone-ku. Tidak ada telepon ataupun pesan. Kulempar handphone-ku ke kasur, dan aku berjalan menuju dapur.

Sesampainya di dapur, kulihat Mom sedang sibuk di meja makan, mengelap meja sambil mengomel panjang-pendek

“ Ada apa, Mom?”
“ Vas kristal-ku pecah. Ini sudah yang kedua bulan ini” gerutunya.
“ Mom, itu kan hanya vas. Masih bisa dibeli” jelasku sabar.
“ Tapi yang ini limited edition,  aku mendapatkannya dari Milan, Alice” protesnya.
“ Terserah Mom, tapi mengomel takkan membuat vas itu utuh lagi”

Aku membuka kulkas dan melihat kalau belanjaanku sudah disana. Aku mulai mengaduk aduk kulkas dan membuatkan spaghetti untuk makan malam. kuaduk pelan rebusan spaghetti-ku, setengah melamun. Lalu kumasak bawang, tomat, oregano, dan ayam untuk sausnya. Aku kurang suka saus kalengan, begitupula mom dan dad. Setelah selesai, kutata spaghetti-nya di piring dan memanggil dad untuk makan bersama.

“ kau agak murung, Alice, ada apa?” tanya Dad, menghentikan garpunya tepat sebelum masuk mulut.
“ hah?” tanyaku, mengangkat pandanganku dari spaghetti yang hanya kumainkan dari tadi.
“ Apa kau tidak senang dengan sekolah barumu?” tanya Mom prihatin, meletakkan garpunya.
“ gak, kok, Mom… everything’s okay”
“ so what’s the long face?” tanya Dad.
“ I’m fine, Dad, really” rajukku.
“ okay” mom akhirnya memutuskan untuk menyudahi pembicaraan.

Kami melanjutkan sisa makan malam kami dalam diam. Aku masih bisa merasakan kalau Mom dan Dad menatapku selama makan malam, tapi aku berusaha untuk menghiraukan mereka. Selesai makan, aku langsung berdiri untuk mencuci piring, tapi Mom melarangku. Aku benar benar sedang malas berdebat, jadi aku diam saja dan menuruti apa yang Mom katakan. Sekarang masih jam 7 dan aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan untuk membuatku mengantuk.

Aku akhirnya memutuskan untuk belajar. Aku mengulang pelajaran di sekolah, meskipun yakin kalau aku sudah mengerti. 1 jam kemudian aku mulai membuka e-mail untuk mengecek siapa yang membalas e-mailku. Aku membalas semuanya, satu per satu, dengan sabar untuk menghabiskan waktu. Kulirik jam menunjukkan angka setngah sepuluh. Maka aku-pun memutuskan untuk menggosok gigiku dan membaca novelku. Setelah membaca satu-per-tiga bagian, aku memutuskan untuk tidur. Kubuka lagi jendelaku dan mematikan lampu. Aku berbaring perlahan diatas kasurku. Aku mulai bergulak-gulik gelisah saat aku tak kunjung terlelap.

Akhirnya aku-pun duduk dan berjalan menuju dapur. Lampu lorong saja sudah dimatikan, berarti mom dan dad sudah tidur. Sesampainya di dapur aku membuat secangkir teh. Aku meminumnya sedikit sedikit di meja makan. Iseng, kemainkan liontin kalungku, memutarnya diantara jari-jariku.

Setelah mencuci cangkir, aku-pun kembali ke kamar. Kunyalakan lampu tidurku. Lalu aku memaksakan mataku menutup, menarik selimutku sampai ke dagu. Aku berharap mimpiku malam ini normal. Aku tidak mau mimpi aneh aneh lagi.

***
thanks banget buat semuanya yang udah mau menunggu dan membaca penggalan penggalan cerita dari novel birthstones gue yang belum rampung ini... semoga gue tetep bisa berkarya.. tetep setia nunggu kelanjutannya, ya.. Thanks.. :)

Friday, May 6, 2011

Memorable Quotes from Alexander Graham Bell

Dont let your job gets into the true you
so when you loses your job
you wont lose yourself

Lanjutan Birthstones (7)

satu hal yang dapat kusimpulkan, mereka mungkin mengidap kelainan jiwa. Atau setidaknya meereka sedang iseng, apa apaan? masa mereka menamai diriku atas batu kelahiran. mereka mungkin sedang mengerjaiku karena ini hari pertamaku. hah! lagipula kenapa aku harus mendengarkan mereka, aku tidak mengenal mereka, kok.

tetapi rupanya Josh melihat air mukaku yang mengisyaratkan seolah mereka sinting, karena dia mendesis marah padaku.

" dengar, Alice, aku mungkin saja tidak bisa membaca pikiranmu, tapi aku tidak bodoh, kami hanya ingin sesuatu yang terbaik untukmu. kalau kau ingin mati itu terserah padamu!"

aku tersentak saat mendengarnya berbicara sekejam itu kepadaku, aku marah sekali. ingin rasanya aku membalasnya dengan kata kata pedas dan tajam. tetapi air mataku justru menitik, aku mengerjapkan mataku agar airmataku tidak mengalir, tetapi aku diam saja. dan memainkan tutup botol limunku. lalu Josh mendesah.

" hei, maafkan aku, oke? aku benar benar minta maaf. tapi Alice, aku.. kami, membutuhkanmu, lebih dari apapun. kau yang menentukan masa depan kami. jadi kumohon Alice, mengertilah"
" Alice, apa yang Josh katakan benar, kau sekarang dalam bahaya dan kami bisa melindungimu" ujar Samuel.
" kami membutuhkanmu, Alice" ujar tara.

aku berusaha menenangkan diriku, ketika aku hendak membuka mulut untuk bertanya, tiba tiba...

" wow, wow, wow, well, well, well, kurasa ini patut dirayakan, bukan begitu?" ujar seseorang.
" Ted" kata Josh pelan, mengancam.
" jadi, gadis manis inikah? Maksudku, si aquamarine itu?" ujarnya sambil mengelus pipiku, aku merinding saat merasakan kulitnya yang dingin, aku menepisnya dengan keras dan kasar.
" well, kau cukup galak" desahnya.
" jangan sentuh dia" geram Max, dia sudah berdiri sekarang.
" menjauhlah, atau kugencet habis tubuhmu itu" tara pun ikut tersulut
" kurasa ada keributan disini, ada masalah?" kali ini suara seorang wanita.
" sial" umpat Jinx dan Samuel.
" kurasa ini bukan urusanmu, kan Jule?" kata Theo.
" kurasa keberuntungan memang memihak pihak yang baik, ya?" candanya kepada Ted.
" hei, semuanya... ayo, duduk dulu, kurasa ketegangan disini harus sedikit dicairkan" ujar seorang wanita lagi.

anehnya, kali ini semuanya diam, Max, Jinx, dan Samuel kembali duduk. kecuali tara yang dengan berani memasang wajah menantang-meremehkan.

" kurasa si manis ini, harusnya ikut kami" kata wanita itu lagi sambil mengelus elus cincinnya.
" kurasa tidak" ujar tara dengan nada kasar.
" berani juga kau sekarang, hah, tara?" ujar wanita itu.
" kugencet habis kau, Mona" geram tara.
" aku ingin sekali melihatmu mencoba" tantang Mona.
" lebih baik kau pergi, siapapun dirimu" gumamku.
" apa yang kau katakan, kucing manis?" Mona langsung menoleh kepadaku.
" mundur, Alice" gumam Josh.
" oooh, terlalu takut untuk melukai peliharaan barumu, Josh?" kata Jule dengan nada memuakkan.
" mungkin sebaiknya kau berhati hati, kami akan mengunjungimu kapan saja" ujar Ted kepadaku dengan nada yang dimanis maniskan.
" mungkin juga kami yang akan mengunjungimu, Ted sayang" balas Jinx.
" kita harus pergi" kata Josh kepadaku.
" kenapa?"
" karena kita harus, dan kau harus percaya padaku tentang hal ini" dia memohon.
" aku tidak akan pergi kemana mana, setidaknya tidak denganmu"

aku bangkit dengan marah, memungut tasku dari lantai dan menyambar limunku yang belum dibuka. Josh bangkit berdiri, dan mengikutiku, Samuel melakukan hal yang sama. begitu Mona, Jule, dan Ted berbalik menuju meja mereka, aku sudah keluar dari kafetaria menuju kelas biologi.

" kau mau kemana?" tanya Josh ketika dia berhasil menyusulku.
" menjauh darimu, bukankah sudah jelas?" ujarku dengan nada kasar.
" Alice, kumohon" pintanya, namun aku menghiraukannya dan tetap berjalan menuju kelas biologi dengan marah.

aku melanjutkan sisa perjalanan sendirian, baru sekarang aku berharap Josh masih mengikutiku, entah kenapa aku merasa kurang aman kalau sendirian. kugenggam liontinku dengan erat. bel berdering, tetapi belum ada siapapun saat aku tiba di kelas biologi. maka aku menunggu diluar kelas sambil meminum limunku sedikit sedikit. Dadaku panas saat kuingat kejadian di kafetaria tadi. mungkin sekarang semua orang akan menganggapku aneh. Bahkan mereka yang kuanggap aneh.

aku mendesah. bagaimanapun marahnya aku, aku telah berkata kasar kepada mereka, seharusnya aku tidak bersikap begitu. aku seharusnya bisa mengontrol emosiku. beberapa anak sudah memasuki kelas. beberapa anak menyapaku dan menanyakan namaku. Aku menjawab mereka seadanya. lalu Josh datang dan berhenti didepanku.

" hei" katanya singkat.
" hei"  aku menjawab sambil mengangguk.
" maafkan aku, seharusnya aku.." Josh memulai, tapi kupotong.
" aku-pun salah dalam hal ini, aku berkata kata kasar, seharusnya tidak begitu, maafkan aku"

aku berjalan masuk kelas, diikuti Josh, Samuel tersenyum padaku, aku balas tersenyum padanya. lalu Mr. Barron masuk dan aku meminta tanda tangannya. dia lalu menyuruhku duduk disebelah Samuel. Josh hanya berjarak 2 kursi dibelakangku. ada Ted, dia lumayan jauh dariku, tapi aku tetap takut, entah untuk alasan apa aku takut padanya, dia terus menatapku, itu membuatku jengah, tetapi ada yang lain dari caranya memandangku, dia seperti ingin memakanku atau apa. Samuel bergumam menenangkanku waktu aku bertanya soal Ted. aku memegangi liontinku dan meremasnya pelan. aku terus berpikir ini salah, ini salah. setidaknya aku mengerti setiap detail pelajaran yang diajarkan Mr. Barron pada kami. aku bisa menjawab semua pertanyaan yang dilontarkannya dengan benar. aku melirik Josh yang sedari tadi memelototi Ted dengan garang. aku semakin panik dan khawatir melihat perangai mereka yang sepertinya siapa menyatakan perang.

bel berdering dan aku melompat bangun dan membereskan buku bukuku dengan cepat. memasukkannya asal saja kedalam tasku. Samuel menatapku seolah aku ini sakit atau apa. aku hanya tersenyum padanya dan mulai berjalan menuju gimnasium untuk pelajaran selanjutnya. aku berlari sepanjang koridor hingga sampai ke gimnasium. beberapa anak sudah disana, salah satunya tara. Coach Craig memberiku seragam olahraga dan aku segera menuju ruang ganti untuk berganti pakaian.

hari ini Coach Craig hanya memberi kami pengarahan tentang permainan voli. aku mendesah pasrah, dari semua cabang olahraga, aku paling membenci voli. aku tidak pernah bisa memukul bolanya dengan tepat. aku jago berenang dan bulu tangkis tapi kalau voli, seperti kiamat rasanya.

aku merasakan sesuatu memandangku, aku langsung menengok dan melihat Mona tersenyum bengis menatapku. aku tidak mau menjadi seorang pengecut, jadi kutatap dia juga. dia menatapku, senyum bengisnya semakin lebar dan menyeramkan. tetapi detik berikutnya kulihat ada yang lain, dahinya berkerut frustasi, senyumnya mengejang meski tidak mengurangi kebengisannya. Detik berikutnya dia menoleh dengan sangat cepat seperti ditampar.

" kau baik baik saja, Al?"
" uh? oh, iya, kenapa?" jawabku ketika aku mengetahui kalau tara-lah yang bertanya.
" Mona" jawabnya singkat.
" memang dia kenapa?"
" kau tidak merasakannya?" tanyanya jelas jelas kaget.
" merasakan apa? kau ini ngomong apa sih?" tanyaku heran.
" sakitnya" dia mengatakannya padaku seolah semuanya sudah jelas.
" sakit apa?" tanyaku lagi.
" oke, ini aneh" katanya lagi.
" apa... " kataku, memulai.
" nanti saja" ujarnya pelan.

Maka aku pun diam dan mendengarkan penjelasan Coach Craig, berharap besok akan ada pelajaran teori lagi, yang meskipun sangat kusadari, tidak mungkin. Aku diam saja saat Coach Craig bilang aku akan berkelompok dengan Tara dan Mona sekaligus. Ketika aku berjabat tangan dengan Mona, Mona dengan cepat melepas tangannya seolah tersetrum dan Tara terkikik. Aku mulai merasa ada yang aneh, tidak normal. Ada apa sih diantara mereka berdua? Sampai sampai bertengkar disegala tempat. Di kantin, di gymnasium, tetapi aku memutuskan untuk diam dan mendengarkan lagi penjelasan Coach Craig.

Pelajaran Olahraga selesai dan akhirnya aku bisa melepas pakaian Olahraga yang menyebalkan ini. Rasanya gerah sekali memakainya. Di ruang ganti lagi-lagi Mona melihatku dengan tatapan tadi. Aku mulai merasa ada yang tak beres. Demi Tuhan! Aku baru disini. Baru bersekolah satu hari, dan sekarang sepertinya semua orang membenciku.

" Ayo, ikut aku" ujar Tara sambil menggamit sikuku dan menyeretku keluar ruang ganti.
" Hei! Lepaskan aku! Kita mau kemana? " tanyaku, mulai menggoyangkan sikuku dengan keras.
" Josh" dia hanya berkata begitu dan menyeretku lebih cepat.

***

maaf buat para pembaca karena gue yakin banget kualitas tulisan gue makin memburuk, jadi mungkin gue akan cuti beberapa waktu biar otak gue dingin dulu sebelum ujian lagi. I'll keep writing kok, cuma rehat sebentar untuk nge-refresh... thanks a lot for rading and waiting... :)

Monday, May 2, 2011

Lanjutan Birthstones (6)

pelajaran dimulai dan aku serius mencatat. kudengarkan penjelasan guru dengan seksama. kucatat semua rumus walaupun ingatanku fotografis. aku risi saat mengetahui cowok itu menatap kalungku diam diam selama pelajaran. aneh.

aku tergoda untuk bertanya padanya kenapa dia melihat kearah kalungku terus, itu membuatku risi. tapi aku takut akan terdengar tidak sopan, jadi aku diam saja.
akhirnya bel berdering, dengan cepat kukumpulkan buku bukuku dan memasukannya kedalam tas.

" hei, maaf, aku ingin bertanya " kata cowok itu dan 3 barisan kedepan semuanya menoleh pada kami
" ya?" jawabku
" kulihat kau memakai kalung, boleh aku bertanya darimana kau mendapatkannya?" matanya berkilat misterius ketika dia menanyakannya
" eh, memangnya kenapa?"
" tidak apa apa, kurasa aku pernah melihatnya di suatu tempat, aku hanya penasaran, maaf kalau aku menganggumu, selamat pagi, Miss.."
" Hartman, Alice Hartman"
" well, Alice, aku harus pergi"

lalu dia pergi, beberapa detik kemudian, seorang anak perempuan yang menghampiriku. tubuhnya berperawakan mungil. matanya hijau dan rambutnya cokelat panjang. dia memakai kacamata.

" hei, aku Jinx" katanya mengulurkan tangan
" Jinx?" tanyaku heran
" yeah, 13 september" ujarnya, menunjuk dirinya sendiri
" kau ikut pelajaran apa?" tanyaku
" pemerintahan"
" kau keberatan jika kita berangkat bersama?" tanyaku was was
" tidak, tentu saja tidak"

Jinx sangat menyenangkan. dia banyak berbicara tetapi tidak sampai ke level cerewet., dan kebanyakan yang dibicarakannya adalah tentang guru dan pelajaran pelajaran, jadi aku memperhatikan apa yang dia bicarakan. kami sampai tepat waktu, aku segera meminta tanda tangan lalu duduk disebelah Jinx. kami tak banyak berbicara saat pelajaran berlangsung. dia serius mencatat, begitupula aku. Aku sering mendapatinya melirik kearah kalungku. Aku mulai risi. Dia melihatku sama seperti saat cowok tadi melihatku. Ketika akhirnya aku tak bisa menahannya lagi, akupun bertanya

" Jinx?" aku memulai
" eh, apa? " jawabnya salah tingkah
" kenapa kau sering melirik ke kalungku?" terkesan tidak sopan, tapi aku tak tahu bagaimana harus menyampaikannya
" sudah kuduga kau pasti menyadarinya"
" menyadari apa?" tanyaku tak mengerti
" kita tidak bisa bicara disini. ada Jule" katanya dengan sura rendah
" siapa?"
" sssshhhhhh" desisnya kesal
" ah, mungkin begini saja" ujarnya, merobek selembar kertas dari bukunya dan mulai menulis diatasnya. penanya meluncur cepat diatas kertas. aku mulai penasaran apa yang ditulisnya. hingga seseorang berdeham.
" apa yang ingin kau bagi dengan kami, Miss?" tanya Mr. Rotter
" tidak ada pak, saya hanya ingin membiarkan Miss Hartman melihat catatan saya untuk mengecek ulang catatannya" ujar Jinx polos

Mr. Rotter mengambil kertas yang ada diatas binder Jinx

" mmm..." katanya lalu menaruh kembali kertas tersebut diatas binder Jinx dan kembali ke depan kelas
" apa.."
" nanti saja, percaya padaku" bisiknya dan akupun diam

begitu bel berdering Jinx melompat bangun dan membereskan buku bukunya dengan cepat. aku kaget melihatnya. di kelas trigono tadi dia tidak begitu, kok. kurang dari semenit Jinx sudah berlari menuju pintu, aku mengejarnya

" hei, ada apa?" tanyaku saat aku berhasil menyusulnya
" astaga! aku sampai lupa, Samuel!" teriaknya
" Samuel?"
" tenang saja, dia salah satu dari kita, dia ikut kelasnya Fawcett. kau ikut kelas siapa?" tanyanya terburu buru
" ehh.. Fawcett" jawabku
" bagus! Samuel, antar dia, aku harus segera menemui Josh" katanya cepat
" aku?" Samuel rupanya sudah berada di sampingku, dia bermata cokelat
" dia si aquamarine" Jinx berkata pelan
" apa?!" tanyanya kaget
" tepat sekali, sekarang antar dia" dan Jinx berlari menyusuri koridor

aku dan Samuel berjalan dalam diam. dia melihat kalungku sekilas dan mengangguk angguk mengerti. dia lalu menunjukkan gelang kulitnya. dan aku terkesiap saat melihat bahwa simbol simbol di liontinnya sama persis dengan milikku. hanya saja dia memiliki tiga batu emerald. otakku berputar mencari tahu apa yang terjadi disini. ini tidak masuk akal, ini hari pertamaku sekolah dan aku langsung mendapat hal hal seperti ini. aku ingin menanyakannya pada Samuel, tetapi aku takut. jadi aku diam saja. rupanya Miss Fawcett sudah dikelas dan dia menyalahkan Samuel yang dikiranya penyebab keterlambatanku masuk kelas. setelah meminta tandatangannya, aku ternyata tidak ditempatkan di samping Samuel. aku ditempatkan disamping Theo, dia duduk di pojok ruangan, Samuel duduk di baris paling depan, dengan langkah hati hati, aku duduk disebelah Theo.

" jadi, kau si aquamarine?" tanyanya
" ehh, aku akan lebih senang jika kau memanggilku Alice" protesku halus
" terserah. dengar, ini penting, dengarkan penjelasan guru dengan hati hati dan seksama. atau paling tidak berpura puralah. karena aku akan memberitahumu segalanya"
" aku... tidak mengerti" kataku akhirnya
" kalau begitu sebaiknya aku menunggu Josh yang menjelaskan" ujarnya pelan, lalu kembali diam

aku menuruti nasihatnya. aku mendengarkan dengan seksama saat Miss Fawcett membacakan puisi karya Frost. lalu memberiku daftar bacaan yang harus kubaca untuk mengejar ketinggalanku. dan sayangnya, aku sudah membaca semuanya, berulang kali. aku iseng menggambari binderku. tangan kiriku tanpa sadar mengelus liontinku.

" lihat, kau mulai terikat padanya" tiba tiba Theo berkata
" terikat pada apa?"
" liontinmu, kau memeganginya terus, sama seperti kami sebelum kami tahu apa gunanya liontin itu"
" tidak kok, aku hanya iseng" elakku, secara otomatis langsung menarik tanganku
" jangan menahan diri, dampaknya jelek" katanya
" aku tidak menahan diri" ujarku keberatan
" kalau kau ingin memegangnya, pegang saja, itu wajar kok"
aku diam saja dan mulai memegangi liontinku lagi

bel berdering dua kali, saatnya istirahat. aku bangkit dan mulai memasukkan buku bukuku ke dalam tas. anak anak mulai bergerak menuju pintu. kursi disebelahku berderit tapi aku tidak mendongak

" sampai kapan kau mau disitu, Alice" tanya Samuel, tiba tiba sudah berada di dekatku
" kita harus segera ke kafetaria, yang lain pasti sudah menunggu" kata Theo
" yang lain?" akhirnya aku bersuara
" ya, ayo, cepat"
" maaf, tapi kurasa aku masih bisa jalan sendiri" kataku keberatan lalu berjalan sambil mengentakkan kaki

aku berjalan menuju kafetaria dengan perasaan tidak nyaman, karena Samuel dan Theo membuntutiku. orang orang menoleh kepadaku ketika aku lewat. tetapi Samuel dan Theo sepertinya biasa saja dan tetap mengikutiku

sesampainya di kafetaria, aku langsung berjalan ke antrian, aku hanya membeli limun, setelah kubayar aku langsung duduk di meja terdekat, tetapi Samuel dan Theo menyuruhku bangun untuk duduk di meja lain. aku melihat Jinx dan beberapa anak lain. aku turuti saja mereka, setidaknya disana ada Jinx, dia yang kukenal, satu satunya di meja itu. ada juga anak yang duduk disebelahku pada pelajaran trigonometri.

" senang bertemu lagi, Jinx " ujarku dengan nada tajam
" duduklah aku akan menjelaskan sesuatu" ujar Jinx menepuk nepuk kursi disebelahnya, tetapi aku bergeming.
" kumohon, kau harus duduk, biarkan kami menjelaskan segalanya padamu" Samuel memohon padaku
aku diam sesaat, lalu aku-pun duduk
" okay, kurasa wajar jika aku memulainya dengan pertanyaan ' ada apa sih ini?'" kataku sambil duduk
" tidak, pertama, tama, kami harus memperkenalkan diri dulu" kata Jinx
" aku Josh, si topaz"
" aku Jinx, si safir"
" aku Samuel, si emerald"
" aku Theo, peridot"
" aku Max, turqoise" kata seorang cowok kekar berambut hitam
" George, opal" kata cowok bermata biru dan berambut pirang pucat
" tara, pearl" kata cewek berambut cokelat kemerahan dengan aksen yang menarik
" dan kau, adalah yang kami tunggu tunggu selama ini, Alice, si aquamarine" ujar Josh
" aku ini apa?" tanyaku panik
" si aquamarine, batu indah dan langka dari lautan dalam, berwarna sebiru laut namun sebening kristal, kesempurnaan dan keindahan yang seimbang." tutur George menerawang
" kau-lah, yang menentukan masa depan kami, Alice" ujar tara