CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Wednesday, May 18, 2011

Lanjutan Birthstones (9)


Aku bisa merasakan segalanya, sakit di sekujur tubuhku, hangatnya darah yang mengalir dari kepalaku, luka kecil di sudut bibirku yang mulai terasa perih. Dinginnya angin hutan.

Lalu sesuatu menyentuhku.

Seperti memeriksaku, lalu aku merasakan diriku terangkat dari tanah, ada yang menggendongku. Rasa sakit justru semakin menekan dan memaksaku tetap di alam tidak sadar. Aku ingin berontak, tapi akhirnya aku tetap tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku kehilangan orientasi waktu. Tetapi beberapa saat kemudian aku disandarkan dan hanya dalam beberapa menit, rasanya, aku-pun siuman.

Hal pertama yang ingin kulakukan adalah lari secepat mungkin, tetapi aku mengurungkan niatku dan mulai menginventarisir tempatku berada kini.

Aku berada di sebuah lapangan bentuknya tak beraturan, tetapi ini memang lapangan. Aku disandarkan di bawah pohon maple. Beberapa meter jauhnya, ada api unggun yang sesekali meretih dan menyemburkan bunga api ke angkasa. Aku mencium bau masakan gosong. Perlahan aku berdiri dan mulai menghampiri api unggun itu. Kulihat ada tiga ekor burung yang ditancapkan di kayu dan didekatkan ke api unggun itu. Aku merasakan perutku berbunyi saat mencium bau burung bakar itu. Kemudian aku sadar, api dan makanan hanya akan ada kalau disekitarnya ada.. seseorang.

Aku menoleh dengan panik, nyaris menjerit. Tetapi mulutku dibekap.

“Ssssst… ini aku, ini aku, kau tak perlu takut” kata orang itu.

Lalu aku memeluknya erat dan menghela napas lega. Aku aman sekarang.

***
Aku membuka mata, tidak menjerit kali ini. Aku berbaring telentang diatas tempat tidurku. Pelipisku berkeringat dan aku mulai merasa tenang beberapa detik kemudian. Aku sedang malas berkomentar tentang mimpiku. Aku lagi - lagi bermimpi aneh. Aku berdiam diri selama beberapa menit. Duduk di ujung tempat tidur. Bunyi alarm-lah yang membuatku bergerak dari posisiku. Dengan kaku aku mengambil handuk dan tas peralatan mandiku lalu bergerak menuju kamar mandi

Selesai mandi aku memakai kemeja hijau tua dan jeans yang sudah lama tak kupakai. Badanku yang cenderung kurus memang membuat banyak baju lama masih terpakai olehku. Aku benar - benar pucat hari ini. Menyisir rambutku dengan jari seadanya, aku berjalan menuju dapur.

“ Pagi, Alice.” sapa Mom begitu aku sampai di dapur.
“ Hai, Mom.” balasku seadanya.
“ Hari ini aku membuat pancake.” kentara sekali Mom sedang memaksaku berbicara.
“ Mmm.” gumamku.
Hening yang cukup lama, hingga akhirnya Mom berkata.

“ Alice, aku mengerti kalau hari pertama sekolah memang tidak pernah mudah buatmu, tetapi kalau menurutmu akan lebih baik jika kau homeschooling, aku bisa…”
“ No, Mom, thanks.” kataku singkat.
“ But you look so pale, I can’t..”
“ Mom, aku cuma punya sedikit masalah, aku baik baik aja. I’ve planned to apologize, jadi tenang aja, Mom.” jelasku panjang lebar.
Well, if that’s the best..” Mom lalu beranjak keluar dapur untuk memanggil Dad.

Kami makan dalam diam, Dad tidak terlalu banyak bertanya. Aku benar - benar bersyukur akan fakta bahwa Dad bisa mengerti aku. Aku-pun memutuskan untuk berangkat sekolah. Dad memaksa untuk mengantarku, tetapi aku menolak. Audi-ku belum datang, jadi aku harus memakai Mercedes Mom lagi hari ini. Hebat.

Aku mengemudi hati - hati. Berusaha untuk tidak mencelakai diriku sendiri saat menginjak pedal gas. Hanya dalam 15 menit sekolah sudah terlihat. Aku memarkir mobilku lebih jauh dari kemarin, aku tiba sedikit lebih pagi jadi hanya ada beberapa murid yang baru tiba. Tidak mau menjadi yang pertama tiba, aku berdiam diri di mobilku sambil merenungi dan memikirkan apa yang akan kukatakan kepada Josh, Jinx, Tara, dan yang lainnya. 15 menit kemudian aku memutuskan untuk keluar dari mobil dan berjalan menyusuri lorong yang masih sedikit kosong. Kelasku juga masih kosong, tapi aku duduk di tempat yang sama dengan kemarin. Beberapa menit kemudian, beberapa anak sudah mulai memasuki kelas dan aku mencoba untuk membalas senyum mereka sebaik mungkin. Tapi… dimana Josh?

“ Halo, kucing manis” kata sebuah suara.
“ Ap…” aku hendak menjawab, tetapi kuhentikan begitu melihat siapa yang berbicara padaku.
“ Ted.” ujarku datar.
“ Kau masih ingat padaku?” tanyanya menyunggingkan senyum lebar yang bengis.
“ Tentu saja aku masih…” kataku tetapi terhenti begitu melihat siapa yang masuk kelas.
“ Selamat pagi, Ted. Kukira itu tempat dudukku.” ujar Josh dengan nada mengancam.
“ Yah… kurasa begitu, sampai nanti, kucing manis.” ujar Ted lalu duduk di bangkunya.
“ Thanks, aku tida…”
“ Ya, ya…” Josh memotong ucapanku lalu duduk disebelahku.

Selama pelajaran, Josh sama sekali tidak menegurku. Aku merasa tidak nyaman dengan fakta bahwa Josh sedang marah padaku. Ketika aku melirik Jinx, dia-pun melakukan hal yang sama, tidak tersenyum sama sekali. Aku berkonsentrasi pada Mr. Mc Killen. Mencatat lagi.

Ketika bel berdering, Josh tidak langsung membereskan buku - bukunya, tetapi aku langsung membereskan buku bukuku. Ketika aku hendak berdiri, dia memegang tanganku.

“ Kita harus bicara” kata Josh singkat. Dia bangkit dan menyuruhku mengikutinya.

Aku mengekor pada Josh hingga aku sadar kalau kami berjalan menuju kelas Pemerintahan. Aku memutuskan untuk tidak memulai pembicaraan, karena sepertinya Josh juga ingin bicara. Tapi beberapa detik kemudian, aku sudah tak sabar.

“ Josh, kalau ada yang ingin kau katakan, katakan saja.” ujarku .
“ Baiklah, tapi kumohon, kumohon, untuk sekali ini saja, dengarkan apa yang aku bicarakan, oke?” tanyanya, aku mengangguk.
“ Alice, aku adalah si topaz, pembaca pikiran, Tara adalah pearl, dia memiliki kemampuan untuk menghalangi serangan, semuanya, Jinx, Samuel, Theo, Max, George, memiliki kemampuan masing masing.”
“ Dan mereka semua memiliki liontin, sama persis, kecuali di bagian batunya.” kataku
“ Ya, benar.” jawabnya sabar.
“ Lantas, Jinx, dia lahir bulan September, batu kelahirannya memang safir, tapi aku tidak lahir bulan Maret.” Tuturku.
“ Tidak bergantung pada tanggal lahirmu, bergantung pada kekuatanmu.”
“ Maksudmu kalian seperti, kau tahu, super league atau semacamnya?” tanyaku.
“ Yah… kau bisa menyebutnya seperti itu.”
“ Ini… gila.”

Josh berhenti berjalan, dia menatapku lekat - lekat, aku jengah ditatap seperti itu, jadi aku memalingkan wajah.

“ Dengar, aku tidak tahu menahu tentang hal hal semacam ini, oke? Aku hanya Alice, seorang remaja normal.” kataku.
“ Aku sudah mengetahuinya, kau takkan percaya.” ujarnya pasrah.
“ Bukan itu… maksudku aku…”
“ Sudahlah, aku tak mau menyusahkanmu.” potongnya lagi.

Kami berhenti di depan kelas Pemerintahan, beberapa orang yang masuk memandang kami berdua. Aku diam saja.

“ Dengar, Josh, apapun yang telah kulakukan, aku minta maaf, sungguh.” kataku akhirnya.
“ Apa?” tanya Josh.
“ Aku minta maaf atas apapun yang telah kulakukan dan itu menyakitimu, aku minta maaf.” jelasku lagi.
“ Baiklah, permintaan maaf diterima.” jawabnya sambil tersenyum, lalu dia pergi.

Aku masuk kelas, beberapa anak memandangku heran. Jinx masih duduk sendiri, di tempat yang sama dengan minggu lalu. Aku tidak langsung duduk disebelahnya, aku berdiri, menunggu di samping tempat duduk hingga dia mengangkat kepalanya.

“ Boleh aku duduk?” tanyaku hati hati.
“ Tentu saja boleh.” jawabnya seakan jawaban itu sudah jelas.
“ Dengar, soal yang kemarin itu aku benar benar minta maaf, oke? Apapun yang…”
“ Sudahlah, lagipula kami tidak marah.” potongnya.
“ Terimakasih.” jawabku lega lalu duduk di kursi disebelahnya.

Pelajaran berlangsung tenang. Aku merasakan tatapan seseorang di punggungku. Detik -detik pertama, aku masih mengacuhkannya, tetapi hanya 10 detik berselang aku mulai merasa jengah dan aku-pun menoleh untuk melihat siapa yang memandangiku.

Rupanya Samuel, dia melihatku seolah - olah melihat sesuatu di dalam diriku. Dia menatap tepat ke mataku. Aku berusaha tersenyum, tetapi aku merasa kalau wajahku kaku. Aku-pun memalingkan wajah, aku yakin wajahku pasti memerah.

Pada akhirnya aku tidak mengerti apa yang diajarkan Mr. Rotter pada kami. Aku harus mengulang pelajaran di rumah, kalau begitu. Aku mengumpulkan buku - bukuku perlahan. Aku hanya setengah menyadari kalau Jinx menungguku.

“ Kenapa lama sekali sih?” tanyanya jengkel.
“ Ah, maaf, kurasa aku melamun.” jawabku asal dan langsung bangkit berdiri.

Aku dan Jinx berjalan dalam diam, sesekali aku merasakan tatapannya pada kalungku, lalu dia akan bergumam sendiri, sesuatu yang terdengar seperti ‘pasti dia’ atau apa. Aku mendiamkannya saja, pura - pura tidak mendengar dan tidak memperhatikannya.

Sesampainya di kelas, aku duduk di bangku yang sama dengan kemarin, bersama Theo. Dia diam saja waktu aku menarik kursi dan mendudukinya. Aku-pun terlalu takut untuk menyapanya. Jadi aku diam saja. Ketika Miss Fawcett masuk, aku menyerahkan tugas susulan-ku kepadanya. Dia hanya tersenyum sekilas dan menyuruhku duduk kembali.

“ Cepat juga, kau, Alice.” kata Theo.
“ Maksudmu?”
“ Aku saja butuh 3 hari untuk mengerjakan satu cerita dan kau menyelesaikan 3 buku dalam 1 malam.”
“ Aku sudah pernah membaca semuanya, jadi tinggal kubuat sinopsisnya.” terangku, merendahkan diri.

Ketika dia akhirnya tak juga menjawab, aku menaruh Wuthering Heights ku diatas meja dan membuka binderku asal, mulai menggambari pinggiran kertas yang masih kosong dengan ulir bunga, Miss Fawcett membacakan kutipan - kutipan puisi karya Frost yang sebagian sudah kuhafal. Ketika akhirnya aku mulai merasa bosan, aku mulai sadar kalau pinggiran bukuku sudah hampir penuh, sulur tanaman yang kugambar terlalu panjang, nyaris tak ada tempat untuk menulis. Aku memutuskan untuk terus menggambarinya. Hingga kemudian seseorang berdeham, aku mendongak.

***
Thanks for waiting! Ya Tuhaaaan, ini novel gak kelar kelar... doain aja biar cepet selesai, jadi gue cepet istirahat. capek tau! nulis novel setiap hari *curcol. ya.. segitu dulu kali ya... semoga para pembaca Birthstones tetep setia... Love you all! eh, kirim salam, buat semua anak 4 tangsel... Miss you guys!

0 komentar:

Post a Comment