CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Wednesday, May 25, 2011

Lanjutan Birthstones (10)


“ Miss, Hartman, benar?” tanya Miss Fawcett.
“ Ya, Miss, benar.” jawabku sederhana.
“ Ada sesuatu yang ingin kau bagi dengan kami?” tanyanya lagi.
“ Tidak, Miss, tidak ada.”
“ Kalau begitu perhatikan pelajaranku, tak bisa kupungkiri, essay-mu mengenai Wuthering Heights itu luar biasa, Hamlet sedikit tidak konsisten, tapi kau memukauku dengan diksi-mu yang luar biasa, tapi bukan berarti kau bisa bebas melakukan apa saja di kelasku, miss…” katanya dengan suara tenang namun tajam.
“ Baik, miss, maafkan saya.” ujarku menundukkan kepala, namun memutar bola mataku.

Ketika dia akhirnya kembali kedepan kelas, aku mulai menggambari kertasku lagi. Aku sebal dipermainkan guru seperti itu, tapi toh aku juga salah, tapi sungguh, benarkah dia membutuhkan waktu begitu lama untuk mengerti puisi karya Frost? Aku sudah hafal puisi itu saat aku berumur 13 tahun dan menulis essay-nya seminggu kemudian untuk tugas Bahasa Inggris dan aku mendapat A+. Oh, yang benar saja…

Bel berdering tak lama kemudian, Theo langsung bangkit berdiri, dia berjalan melewati mejaku dan menyenggol tas-ku, isinya jatuh semua, aku hendak memprotes, namun dia hanya bergumam meminta maaf dan terus berjalan, aku cemberut kearahnya. Kupunguti buku - bukuku, I-pod, dan segalanya.

“ Mau kubantu, Al?” tanya Jinx dari jauh.
“ Tidak, kalian duluan saja, nanti aku menyusul.”
“ Oke” jawabnya lalu berlalu bersama Samuel.

Aku berkonsentrasi mengumpulkan semua alat tulisku yang tercecer. Ketika aku bangkit, aku melihat Ted berdiri tepat dihadapanku. Aku sontak mundur karena kaget.

“ Mau apa kau?” tanyaku kasar.
“ Jangan begitu kucing manis, aku hanya mau bicara sebentar.”
“ Kau sebaiknya pergi.” ujarku lalu meninggalkannya, dengan sengaja membenturkan bahuku ke bahunya ketika berjalan, aku meringis saat rasa sakit menghujam bahuku yang memang kecil.
“ Kau seharusnya tidak sekasar itu, Alice, belajarlah untuk bersikap sopan.” Aku berhenti berjalan ketika mengenali suara yang mengatakan itu, aku berbalik.
“ Mona?” tanyaku tak percaya.
“ Ya, kau sungguh bodoh, sungguh lemah. Pemilik birthstone termuda, paling tak tahu apa-apa, padahal yang sebelum ini lebih asyik.” ujarnya kejam.
“ Apa maksudmu dengan…” ujarku hendak bertanya, namun detik berikutnya Mona terlempar ke dinding dan terlihat seolah dirinya tercekik.
Stay Away.” Tara tiba-tiba masuk kelas dengan Josh disampingnya.
“ Sial!” ujar Ted, dia berlari lalu mendorong Tara dan menekannya ke dinding.
“ Habisi dia! Si aquamarine itu! Cepat!” teriak Ted saat berhasil mengunci Tara.

Mona lalu memberiku tatapan seperti yang di Gimnasium waktu itu. Aku ngeri dan mundur beberapa langkah, Mona menatapku semakin tajam, dahinya berkerut frustasi, senyumnya mengendur dan mulai memperlihatkan wajah geram. Ted dan Tara menghentikan perkelahian mereka, melongo manatapku. Josh sekarang hanya berjarak 60 senti dibelakangku, aku terus mundur dengan konstan.

“ Sial!” jerit Mona, membuatku terlonjak, aku sekilas melihat Tara menampar Ted begitu keras hingga Ted terpelintir dan jatuh, lalu dia menjejakkan kakinya sekuat tenaga ke hidung Ted, aku mendengar suara berkeretak saat hidungnya patah.

Josh menarikku keluar kelas, Tara membuntuti di belakang kami. Aku yakin kami tidak menuju kafetaria. Kami membelok menuju perpustakaan sekolah. Penjaganya tidak ada. Tidak ada satu siswa-pun disana. Josh menarikku ke meja terdekat dan menyuruhku duduk. Tara mengeluarkan sandwich dan sebotol susu dari tasnya.

“ Maaf kalau isinya sudah berantakan, karena yang tadi, kau tahu” ujarnya, menyodorkan makanan padaku.
“ Thanks, tapi aku tidak lapar” ujarku singkat “ Omong - omong, sedang apa kalian disana?” tanyaku.
“ Kami memang mencarimu, aku bingung setengah mati ketika keluar dari kelas Trigono dan tiba tiba Josh sudah marah - marah dan mengajakku melihat ke kelasmu. Aku belum pernah melihat Josh marah seperti itu, well, tidak sejak…” ujar Tara, namun terhenti.
“ Sejak apa?” tanyaku.
“ Lupakan saja, ayolah, kau benar - benar harus makan” ujar Tara, mendorong sandwichnya lebih dekat kearahku.
“ Aku tidak lapar.” jelasku lagi.
“ Kumohon.” pinta Josh, dia tiba tiba datang membawa beberapa buku yang tebal.
“ Oke, baiklah.” ujarku, tetapi pada gigitan pertama, aku tersedak, lalu memuntahkannya keluar.
“ Apa, kenapa?” ujar Josh, langsung memegangi tanganku, menarik - nariknya.
“ Tidak, aku hanya mual, itu saja.” ujarku.
“ Oh, astaga, hidungmu.”
“ Kenapa?” tanyaku, merasakan sesuatu yang hangat mengalir, aku pastilah mimisan.
“ Ya, Tuhan, pertama kalinya aku mimisan, ternyata keren juga…” ujarku melantur.
“ Kau ngomong apa sih? Ini bisa jadi efek dari…” ujar Josh.
“ Dari apa? oh, ayolah, jangan membuatku penasaran.” ujarku sambil mecari tisu di tasku yang isinya berantakan, tanganku yang lain memegangi hidung.
“ Tunggu.” ujarnya, meraih tanganku yang memegangi hidung lalu menatap darahku lekat - lekat
“ Astaga, apa - apaan sih, kau?” ujarku, berusaha menarik tanganku, darah menetes menodai jeansku.
“ Maaf, dan ini, pakai ini saja.” ujarnya, meraih sapu tangan dan menyerahkannya padaku, aku menggunakkannya untuk membersihkan hidungku yang memang sudah penuh darah.
“ Lihat dia, seperti orang stress” ujar Tara lalu menggelengkan kepalanya.
“ Siapa? Josh? Bukannya dia memang sinting?” ujarku lalu tertawa kecil.
“ I hear that.” ujar Josh dibalik bukunya yang begitu tebal.
“ What is that?” tanyaku sambil menganggukkan daguku kearah bukunya.
“ Nothing.” katanya dengan datar, membuatku kesal setengah mati.
“ Tara, kau bisa jelaskan, kan?”
“ Jelaskan? Jelaskan apa?”
“ Apa yang sebenarnya terjadi, semuanya. Kumohon, aku butuh tahu tentang ini, aku bisa mati karena kalian tidak memberitahuku apa - apa.” aku pun memohon.
“ Kurasa sebaiknya kita tunggu Josh yang menjelaskan, oke?” kata Tara yang lalu melirik Josh.
“ Ugh! Ini menyebalkan! Josh, jelaskan, kumohon?”
“ Dasar bodoh!”
” Apa?!” tukasku tak terima.
“ Begini, Alice, sudah berapa puluh kali aku mecoba memberitahumu? Hmm? Mungkin sudah ratusan kali, dan tidak ada yang kau dengarkan.” ujarnya, sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari bukunya.
“ Maksudmu, sesuatu tentang birthstones itu?” tanyaku.
“ Menurutmu yang mana lagi, hah?”
“ Jadi… aku pemilik aquamarine, begitu?”
“ Ya.” akhirnya mengalihkan pandangannya dari buku tebalnya itu.
“ Oke, dan kalung ini?”
“ Sumber kekuatanmu, jaga baik - baik, hanya dengan itu kita bisa menjadi makhluk abadi.”
“ Maksudmu seperti… vampir?” tanyaku, tersenyum miring.
“ Schhh, vampir tidak ada, beberapa tahun terakhir ini, kami, maksudku aku, Jinx, Tara dan yang lainnya, mencarimu, si aquamarine, yang selalu jadi perebutan, untungnya kau selalu bereinkarnasi.” tuturnya.
“ Bereinkarnasi?”
“ Kau sudah mati 3 dekade yang lalu.”
“ Apa?”
“ Kau mati, lalu jiwa pemilik aquamarine yang sebelumya berpihak kepada jiwa - jiwa terpilih. Oh astaga, kau benar - benar tak ingat apapun?” keluhnya.

Bel berdering, membuatku terlonjak. Josh menyuruhku mengikuti kelas berikutnya, aku menurut, memasukkan beberapa buku yang telah diberikan Josh, buku itu berisi tulisan tangan yang sudah benar - benar tua, kertasnya sudah menguning. Kumasukkan kedalam tasku. Lalu aku berjalan menuju kelas Biologi bersamanya. Kami tidak banyak berbicara, lagipula ini tempat umum dan akan sangat mengherankan kalau kau berbicara tentang “makhluk abadi-reinkarnasi-visi tentang masa depan” dan sebagainya.

Di kelas Biologi, Samuel tiba - tiba bangkit dan menyuruh Josh duduk di kursi disebelahku, meskipun akhirnya Mr. Barron menyuruh Josh kembali ke kursinya lagi. Aku sekilas meneliti ruangan dan terkejut setengah mati ketika menemukan Ted duduk di tempatnya yang biasa dan tersenyum bengis kepadaku, hidungnya sudah betul lagi, ingin betul aku mematahkannya untuk yang kedua kali.

0 komentar:

Post a Comment