CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Tuesday, June 7, 2011

Lanjutan Birthstones (11)


 “ Kau pasti bingung sekali, kan?” tanya Samuel.
“ Yeah, well, kau pasti juga…”
“ Seandainya kau tidak terlalu sulit untuk diberi tahu, ini tidak akan terjadi.” lanjutnya.
“ Maafkan aku.” sekarang aku benar benar merasa bersalah.
“ Sudahlah, toh kami memang harus selalu mengawasimu… dari dulu hingga sekarang.” tambahnya sambil mendesah.
“ Apakah Aquamarine yang dulu juga se-merepotkan aku?” tanyaku.
“ Yeah, kurang lebih.” ujarnya sambil tersenyum, mau tak mau aku ikut tersenyum.

Kami tidak berbicara banyak setelah itu, aku memutuskan untuk mendengarkan penjelasan Mr. Barron dengan seksama. Kali ini kami mempelajari proses mitosis, aku sudah pernah mempelajarinya, jadi aku cenderung setengah hati ketika mencatat. Mr. Rotter memberi kami tugas untuk menjelaskan setiap fase dalam mitosis, Profase, Metafase, Anaphase dan Telofase, semuanya harus dijelaskan secara rinci. Aku bekerja bersama Samuel, yang ternyata secara langsung terpilih menjadi partner ku dalam setiap praktik Biologi.

“ Since you are a girl…” ujarnya sambil tersenyum “ …kau ingin yang menulis, atau yang berpikir?”
“ Hmmm… both.”
“ Baiklah, gantian saja kalau begitu… ladies first?” tanyanya lagi, menyodorkan kertas yang tadi dibagikan.

Aku hanya menatap kertas itu hampa, bingung karena Sam bersikap sangat gentleman hari ini.

“ Atau aku bisa memulainya kalau kau keberatan.”
“ No, no… berikan kertasnya, aku akan menulis tentang Profase dan Anafase, sisanya kau, deal?”
“ Deal.”

Aku menyelesaikan bagianku hanya dalam 15 menit, aku berusaha menulis serapi dan selurus mungkin, meskipun hasilnya tidak terlalu memuaskan. Sam mengerjakan dengan waktu yang lebih singkat, padahal tulisannya 5 kali lebih rapi daripada tulisanku, aku minder melihatnya, jadi aku menunduk dan mulai menggambari sisa kertas dari kelas Bahasa Inggris tadi. Sam menaikkan tudung sweaternya dan memasang earphone di telinganya. Dia bergumam kecil mengikuti irama lagu.

“ Dengerin apa?” tanyaku.
“ Mau ikut dengerin juga?” dia menyodorkan salah satu earphone-nya, yang kusambut dengan senyum, kupasang earphonenya di telingaku dan terkejut dengan alunan piano yang mengalun indah, aku kemudian melepasnya.
“ Kau tidak suka?” tanyanya sambil memasang kembali earphone di telinganya.
Aku menggeleng “ Aku menyukainya, ngomong - ngomong, aku juga pengamat lagu klasik, aku belum pernah mendengarnya, siapa pianisnya?”
Dia tergelak sedikit “ Aku pianisnya.”
Aku terkesiap “ Kau bisa bermain piano? Sebagus itu?”
“ Hei, aku memiliki keabadian untuk membuat lagu itu, kurasa tidak terlalu berlebihan.” katanya santai.

Aku berhenti bicara. Keabadian? Jadi semua pemilik birthstones imortal? Aku benar - benar merasa bodoh, bagaimana mungkin aku tidak mengingat apapun setelah berada bersama mereka untuk beberapa dekade? Bagaimana mungkin aku tidak melihat masa depan, padahal Josh bilang aku pelihat masa depan, atau well, mungkin aquamarine yang dulu-lah si pelihat masa depan. Masa bodoh, aku tak mau hidupku dipenuhi visi masa depan yang tidak masuk akal.

Mr. Barron menghampiri meja kami, melihat kertas tugas kami yang sudah tersusun rapi di tengah meja, Sam yang menarik tudung sweaternya, dan aku yang menggambari bukuku. Dia menarik kertas kami hingga ke pinggir meja dan tersenyum melihat hasil kerja kami berdua.

“ Teori yang menarik, Samuel, tetapi kurasa Miss Hartman pantas diberikan kesempatan.” katanya dengan nada sedikit menegur, namun tak bisa menyembunyikan perasaan bangganya.
“ Alice, dia turut ambil bagian, teori Profase dan Anafase yang hebat kalau boleh kutambahkan.” ujarnya, mendongakkan kepalanya sedikit namun tidak menurunkan tudungnya.
“ Benar begitu, Miss Hartman?” Mr. Barron kini bertanya padaku, aku mengangguk sopan.
Well, baiklah kalau begitu.” dan dia pun berlalu, ketika dia sudah sampai di meja guru, aku memulai lagi pembicaraan dengan Sam.
“ Teori yang hebat?” ujarku tak percaya kepadanya.
“ Kau tidak menyukai pemilihan kataku?” tanyanya, mendongakkan kepala dan tersenyum. Mata hitamnya hangat dan dalam menatap mataku.
“ Schh… “ ujarku sambil memalingkan wajah.

Bel yang tiba - tiba berdering membuatku terlonjak, Sam tergelak kecil, namun berhenti setelah kupukul lengannya pelan. Aku memasukkan buku - bukuku kedalam tas, menyampirkannya di punggung dan mulai berjalan menuju Gimnasium. Aku berjalan perlahan, dan ketika sampai di Gimnasium, aku benar - benar pasrah dan kehilangan semangatku. Suara sepatu berdecit dan suara bola yang dipukul serta beberapa jerit kegirangan sudah terdengar. Aku segera menuju ruang ganti untuk berganti dengan pakaian olahraga. Dengan pasrah, aku melangkah masuk menuju lapangan utama yang dipenuhi murid. Semuanya terlihat bersemangat hingga sepertinya akan melompat kegirangan menyambut permainan voli nanti. Aku melihat Tara dan Mona saling memunggungi satu sama lain , aku-pun menghampiri mereka.

“ Hai, Tara” ujarku dan Tara membalas senyumku, masih dengan senyum yang sama aku menyapa Mona “ Hai, Mona, kau masih hidup rupanya?” tanyaku retoris dia sama sekali tidak menanggapi perkataanku, meskipun Tara terkikik mendengar ejekanku yang sinis.

Coach Craig memanggil kami semua dengan satu hentakan bunyi peluit yang nyaring. Tara berjalan dibelakangku diikuti dengan Mona yang cemberut. Kami mendapat giliran pertama service bersama dengan kelompok satu lagi yang sama sekali tidak kukenal namanya. Aku nyengir kegirangan melihat bahwa sebagian bersar anggota kelompok lawan merupakan tipe yang akan kau temukan menjerit - jerit heboh mengumumkan kuku jarinya yang patah (well, aku memang mendengar salah satu dari mereka berkata ‘bagaimana kalau kukuku patah?’ kepada salah satu temannya). Diiringi dengan bunyi peluit panjang, permainan-pun dimulai.

Aku berdiam diri di bagian belakang setelah 2 kali gagal memukul bola voli dengan tepat dan membuat pergelangan tanganku memerah dan perih, namun akhirnya aku maju ke barisan depan karena Mona jelas - jelas memaksakan bolanya terus bergerak kearahku.

Tara bermain dengan sangat baik dan terus meng-cover gerakan - gerakanku yang payah. Aku hanya bermain pass setiap kali bola mendarat padaku. Tim kami unggul dan masuk babak semi-final setelah menggilas tim lain, Tara tampak 5 kali lebih lelah daripadaku, aku sudah berjanji akan mentraktirnya makan, tetapi dia menolak dengan alasan ‘sibuk belajar’ aku hanya mengangguk, menghargai alasannya. Aku pun bangkit menyebrangi lapangan, dan detik berikutnya yang kuketahui, seseorang berteriak.

“AWAS!” dan ketika aku menoleh, sesuatu yang keras menghantam bagian belakang kepalaku dan segalanya gelap.

Rasanya hanya beberapa detik, aku kemudian kembali berdiri, aku memegangi kepalaku yang berdenyut - denyut, sakit sekali. Aku bisa melihat Tara menghampiriku dan berkata sesuatu yang tak bisa kutangkap maknanya, aku hanya berjalan, masih memegangi kepalaku dengan setengah sadar. Aku baru menyadari kalau kakiku membawaku ke ruang ganti. Aku segera berganti baju, meskipun dengan sangat perlahan.

Aku berjalan menuju mobilku dengan lesu, menyesal memarkir mobil begitu jauh dari Gimnasium. Aku begitu pusing hingga aku akhirnya memutuskan untuk duduk di trotoar dan menaruh kepalaku diantara kedua lututku. Kepalaku begitu sakit, kupingku berdenging, aku merasakan ada orang yang duduk disampingku, tapi aku merasa terlalu lemah untuk mengangkat kepalaku. Aku memejamkan mataku.

“ Al? kau baik baik saja?” tanya sebuah suara yang sudah familiar di telingaku, aku menggeleng perlahan.

Lalu dia menyandarkan kepalaku ke pundaknya, aku mengelak, dia menarik tanganku, aku menahannya.

“ Al?” tanyanya lagi, lama - lama aku sebal, aku mengangkat kepalaku dan melihat Josh ada disana.
“ Apa?” tanyaku lemah, jelas - jelas tidak berdaya.
“ Ada apa?” tanyanya lagi.
“ Hmm?”

Dia lalu mendesah dan membantuku bangun, aku merasa seperti seorang anak kecil ketika ditarik berdiri. Aku bisa mendengar desir angin di telingaku, hanya sepersekian detik sebelum Josh menangkapku.

“ Kau mabuk ya?”
“hmm?”
“ Alice!” teriak seseorang, kali ini pasti Jinx.
“ Dia mabuk.” kata Josh.
“ Tidak, aku hanya… pusing.” ujarku pelan.
“ Ayo, kuantar kau pulang, mana kunci mobilmu?” tanya Josh padaku.
“ Di dalam tas.” ujarku singkat, tak lagi mampu berpikir.
“ Ayo, Jinx, pakai mobilku...” ujarnya sambil melempar kunci mobilnya pada Jinx “…dan ajak Samuel.” lanjutnya, kulihat Jinx mengangguk dan berlari kembali ke sekolah.

***
maaf yaaaaaaa...  part kali ini rada lama, soalnya lagi sibuk, banyak urusan gitu-laaah... btw thanks for waiting and reading...
leave a comment...

0 komentar:

Post a Comment