CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Thursday, December 1, 2011

Mask for those who's a mess inside


People live their lives... but... DO they?

Raise your hand if you’re one of those who want to be perfect, well, I definitely going to raise mine... Who don’t want to be? But of course the phrase “No one’s perfect” keep being inside of our mind and remind us that no one IS perfect.

But how about those who are over obsessed to be perfect? These kind of people would do anything just so they be looked perfect and good to everyone. Sort of scary actually, because the would do anything, even put on masks to cover their messy personality. They are always trapped in this endless cycle of being perfect. Every time a person look better than them, they improve themselves, even they’re not afraid to be a copycat and copy other’s style and abilities.

This over-obsessed behavior might be dangerous for them or even for their surroundings, because they’re arrogant. They always see that every one’s lower than them. They see that it’s only them who are able to do things. They underestimate person.

Most of people already consider them as a “perfect person” because they usually put on a very good mask for the “first impression” thing. They put on a very good disguise by telling good things about them.


But of course, again, no one is perfect, even sometimes they forgot to put on their mask and go out with their messy personality on. Maybe they feel perfect, but most people feel sorry for them. Are they really that desperate to do good? Or are they actually that bad in doing things with their own way? Are their “Box of Life” really that small and closed? How sad!
People put on masks... but remember, nothing’s better than the original, so just be yourself, you are beautiful when you think you are :)

Wednesday, June 29, 2011

Lanjutan Birthstones (18)


Selesai makan—punya Josh tidak habis—aku mencuci piring kotornya, dibantu Sam, sementara Tara berbicara pelan dengan Josh mengenai sesuatu yang membuat dahi Josh berkerut. Sesekali aku merasakan tatapannya menghujam bahuku dan Sam yang menempel satu sama lain didepan bak cuci piring. Aku merasa agak jengah, tetapi Sam santai saja, bahkan sempat tersenyum tipis kepadaku.

Selesai mencuci piring, aku dan Sam duduk kembali di meja makan, mengobrol pelan tentang hal – hal ringan, seperti pekerjaan rumah, guru – guru yang kusukai dan tidak kusukai, film, novel, dan hal – hal ringan lainnya.

Ketika jam di dapur menunjukkan angka 9, Josh pamit pulang.Well, bukan pamit, tepatnya, tetapi langsung pulang tanya mengucapkan sepatah katapun.

Tinggallah aku, Sam dan Tara di dapur. Tara pamit sebentar untuk mengambil buku – buku di mobilnya. Aku dan Sam duduk dalam diam di meja makan. Aku bisa mendengar tetes air di bak cuci.

“ Al?” Sam memulai.
“ Yeah?”
“ Apa pendapatmu tentang Josh?” tanyanya, aku tersentak.
“ Mengapa kau menanyakan hal itu?” tanyaku.
“ Hanya ingin tahu,” katanya polos sambil mengangkat bahu.
“ Well… dia… teman yang baik,” jawabku diplomatis.
“ Hanya itu?”
“ Memangnya apa lagi?” aku balik bertanya. Dia tersenyum.
“ Kenapa tersenyum?”
“ Tidak apa – apa,” jawabnya ringan.
“ Dasa…”
“ Hei, ummmm, Alice, aku benar – benar minta maaf, aku harus pergi,” Tara tiba-tiba berkata dari pintu dapur.
“ Ah? Kenapa?”
“ Well, aku ada urusan mendadak, tidak apa - apa kan? Masih ada Sam, kok.”
“ Baiklah…” ujarku sambil menghela napas.
“ Terima kasih, Alice! Kau memang baik sekali!” ujar Tara, dia lalu mengecup pipiku, tapi lalu melempar pandangan galak kearah Sam. “ Kalau sampai ada sesuatu yang menimpanya…” dia memulai ancamannya.
“ Aku yang bertanggung jawab,” sela Sam.

Tara lalu pamit pulang. Aku dan Sam mengantarnya menuju Audi-nya. Ketika sampai di mobilnya, Tara lagi-lagi melempar pandang galak kearah Sam yang hanya ditanggapi dengan tawa. Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku menaiki undakan dan masuk kedalam rumah, Sam mengekor dibelakangku dan menungguku ketika aku mengunci pintu depan.

Lalu aku naik ke kamar mandi, dan menyikat gigiku, Sam menunggu diluar kamar mandi. Aku sedang membasuh mukaku ketika pintu kamar mandi diketuk.

“ Sebentar!” teriakku, mengambil handuk dan mengeringkan wajahku.

Gedoran di pintu semakin keras, gagang pintu dipaksa membuka, gedoran lagi. Kemudian aku mendengar seseorang mengerang.Aku mendengar suara hantaman di tembok. Kulempar handuk asal saja dan membuka pintunya.

Aku terkejut melihat Josh mencekik Sam dan menempelkannya ke dinding. Butuh waktu sedetik bagiku untuk bereaksi. Tanpa berpikir aku menarik tangan Josh.

“ Lepaskan dia! Lepaskan! Dasar bodoh!” aku meneriakinya.
“ No way!” balasnya dengan suara lebih keras.

Wajah Sam sudah memucat, mulutnya megap-megap kehabisan udara. Tangannya mulai terkulai, seringai kesakitannya mulai mengendur. Entah mendapat kekuatan dari mana, aku menonjok wajah Josh dengan sangat keras hingga ia melepaskan cengkeramannya di leher Sam. Sam merosot jatuh ke lantai, terengah-engah kehabisan napas.

Kemarahan membuncah dalam dadaku, rasanya seolah-olah ada seseorang yang menyurukkan timah panas kedalam rongga dadaku. Aku bisa mendengar geraman tertahan siap dilontarkan dari dalam dadaku.

“ Kenapa kau melakukannya! Dasar bodoh!” aku merenggut kerah bajunya dan membenturkan kepalanya ke tembok.
“ Dia pantas menerimanya!” dia kembali berteriak kepadaku, memandang ganas kearah Sam yang masih terduduk lemah.
“ Dia temanmu! Astaga! Memang apa salahnya?!” suaraku tak kalah garang.
“ Karena temanku itu berusaha merebutmu dariku!” teriaknya.

Hanya dibutuhkan satu kalimat itu untuk membuatku melepaskan cengkeramanku di kerahnya. Aku mundur beberapa langkah, sementara Josh semakin tersenyum puas dan melempar pandangan menghina pada Sam.

“ Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan. Dia sedang menjagaku, memangnya…”
“ Menjaga? Lalu mengapa ia sendirian? Dia mencuri kesempatan!” semburnya kepadaku.
“ Apa itu benar?” tanyaku pada Sam. Dia tidak menjawab dan tidak mendongak.
“ Lihat aku dan katakan yang sejujurnya!” aku memerintahnya.

Dia lalu mendongakkan kepalanya, memandangku dengan sorot memohon.

“ Kurasa itu cukup,” ujar Josh puas.

Aku menutup kedua telingaku, mundur langkah demi langkah menuju kamar. Kututup kedua telingaku, tak ingin lagi aku mendengar segala rahasia yang telah mereka pendam dariku. Tak ingin lagi. Aku sudah mendengar cukup.

Aku menggelengkan kepalaku, memejamkan mataku, dan ketika punggungku menyentuh pintu kamarku, aku merosot ke lantai. Masih menutup kedua telingaku dengan tangan. Aku tidak mau mendengarnya lagi, apapun itu.

Kurasakan tangan Sam menarik-narik kedua tanganku yang menutupi telinga. Kusentakkan tanganku dengan keras. Lalu, dengan spontan, aku berteriak.

“ KELUAR! Aku tak mau lagi melihat kalian! KELUAR!” ujarku. Tanganku disentakkan menjauhi telingaku, membuatku dapat mendengar kembali.
“ Buka matamu, Alice! Alice! Kumohon… ini hanya... kesalah pahaman…”
“ KELUAR!”
“ Alice…” Sam lagi-lagi berkata.
“ Kubilang KELUAR! Aku tak mau lagi melihat kalian berdua! Aku percaya pada kalian... ternyata selama ini kalian hanya mencari kesempatan! KELUAR!” aku menyemburkan kata itu tepat di wajah Sam yang kaget.
“ Alice… please… jangan,” ujar Sam, memohon.

Aku tidak menjawab apa-apa dan masuk ke kamarku, membanting pintunya. Langsung masuk dan membanting diriku di tempat tidur, menyelimuti diriku dengan bed coverku yang tebal. Pintuku diketuk. Aku berusaha mengabaikannya sebisaku.

Kukira selama ini aku hanya sebagai teman, teman seperjuangan yang harus mempertahankan diri dari cengkeraman jahat The Hunter. Lalu apa? Mereka manganggap dengan berada satu pihak denganku mereka bisa mengharapkan aku akan semudah itu jatuh cinta? Dasar cowok bodoh! Birthstone bodoh! Bah! Bah! Lupakan saja!

Entah kapan, namun aku tiba-tiba saja terlelap.

***

Lanjutan Birthstones (17)


Wajahku terbenam dalam dadanya yang bidang. Aroma tubuhnya yang menenangkan memenuhi paru – paruku. Dia memelukku semakin erat saat akhirnya aku menangis. Aku merasa tidak kuat menanggung ini semua, dan sepertinya Sam mengerti. Dia mengusap pelan punggungku, membisikkan kata - kata menenangkan ke telingaku sementara aku menodai kausnya dengan air mata.

Aku mulai kelelahan menangis, sehingga aku hanya terisak kecil. Sam masih terus memelukku, entah untuk berapa lama. Hingga seseorang berdeham. Sam lalu mengendurkan pelukannya, mengusapkan ibu jarinya di sepanjang jalur air mataku, dan pada saat Sam benar – benar melepaskan pelukannya, aku merasa kehilangan.
***
Seperti dugaanku, mulai sekarang sepertinya mereka takkan meninggalkanku tanpa pengawasan. Mereka semua menunggu di ruang tamu, hingga pada pukul 4 sore, sebagian besar sudah menuju rumah masing - masing. Tersisa hanya Tara, aku, Sam dan Josh di rumah.

Tak bisa kupungkiri. Aku tak kuat menghadapi ini semua tanpa mereka. Visi – visi itu semakin sering bermunculan. Terkadang tidak penting, hanya burung gagak, daun - daun pada musim gugur, hutan, suara tawa riang, seseorang menjerit, potongan – potongan kejadian itu terus bermunculan dengan interval yang tidak pasti, dan setiap aku mendapat visi, aku akan tersentak dan seluruh tubuhku menegang.

Sam dan Josh naik ke dapur lebih dahulu. Sementara Tara menemaniku mengabari Mom kalau aku sudah lebih sehat dan besok akan berangkat sekolah. Setelah menutup telepon, aku dan Tara beranjak menuju dapur, aku berhenti hanya 3 meter dari pintu dapur karena mendengar desisan marah Sam.

“ Kau tidak punya hak atas dia!” desisnya.
Aku telah dipilih, tapi kau masuk dan merusak segalanya, dia milikku!” balas Josh.
“ Dan siapa yang meng-klaim hal itu? Kau tetap tak punya hak atasnya. Aku bisa menjaganya lebih baik daripadamu!”
“ Siapa yang…”
“ Aku tidak akan menyerah, tidak kali ini, kita tak akan mempertaruhkan nyawanya lagi hanya karena keegoisan mu yang tak berujung. Aku mencintainya. Aku pernah mengalah untukmu, dan kau membuatku kecewa karena ternyata dia tidak bertahan!” desis Sam dengan nada yang lebih kasar, tegas.

Aku masuk kedalam dapur bersamaan dengan Tara. Josh dan Sam menoleh dan aku berusaha berpura - pura tidak mendengar apapun yang telah mereka katakan. Dengan senyum ceria – yang palsu – aku bertanya pada mereka.

“ Kalian lapar?” aku menoleh dari konter dapur.
“ Yeah… kelaparan,” ujar Sam, tersenyum dan menghampiriku. “ Butuh bantuan?” tanyanya.
“ Tidak, tidak, kalian kan tamu… biar aku yang memasak,” ujarku sambil mendorong dadanya. Lalu menuju kulkas dan mulai mengobrak – abrik isinya.
“ Kau mau masak apa?” tanya Tara penasaran.
“ Entahlah… kalian mau cream soup?” tanyaku.
“ Terserah kau saja,” ujar Josh sedikit ketus.
“ Kau punya masalah?” Sam memulai dengan nada tinggi, tapi Josh hanya mengangkat bahu.
“ Sudah sudah…” aku melerai mereka sambil mengiris daging ayam dan jamurnya.

Aku memasak dengan tenang, Tara bergumam kecil, mendendangkan lagu yang tak kukenal. Sam bersandar di kursi meja makan, earphone-nya sudah terpasang lagi. Sementara itu Josh hanya berdiam, cemberut di kursinya sambil melipat tangan di dada.

Ketika aku melapisi bagian atas mangkuk cream soup-ku dengan kulit pai, telepon berdering. Tara hanya mendongak sedikit, aku menyelesaikan satu mangkuk lagi, memasukkannya kedalam oven baru aku berlari menuju telepon.

“ Hartman’s residence,” sapaku sopan.

Tidak ada jawaban.

“ Halo?” tanyaku lagi.

Tetap tidak ada jawaban, aku langsung menutup telepon.

“ Siapa?” tanya Sam.
“ Entahlah, tidak ada jawaban,” ujarku ringan.

Aku kemudian duduk di samping Tara, Tara tersenyum tipis lalu mulai berbicara pada Sam. Maka aku memulai pembicaraan dengan Josh.

“ Hei,” sapaku.
“ Mmm…” dia hanya bergumam.
“ Kau baik – baik saja?”
“ Kelihatannya?”
“ Well, kau… terlihat agak… marah?” keraguan terdengar dalam pertanyaanku.
“ Memang,” ujarnya.
“ Kenapa?”
“ Kenapa apanya?”
“ Kenapa kau marah?” tanyaku, lagi.
“ Menurutmu?”

Belum sempat aku membuka mulut untuk menjawab, oven sudah berbunyi. Menandakan masakanku yang sudah matang. Dengan agak tergesa – gesa, aku mengambilnya dari oven, meletakkannya di piring saji lalu memberikan masing - masing dari mereka satu mangkuk. Aku duduk di tempatku tadi, mencelupkan kulit pai dengan tidak antusias kedalam sup-ku.

Kami makan dalam diam. Tara berkonsentrasi memakan sup-nya. Sam memakan sup bagiannya dengan tenang, sesekali melirik jendela dan pintu. Sementara Josh bersandar di kursinya, memainkan makanannya seperti anak kecil yang disuruh makan brokoli.

Lanjutan Birthstones (16)


“ Siapa?” tanyaku.
“ Jinx, Tara, Max, Sam, George dan Theo, mereka sudah kuberitahu,” jawabnya, masih menatap lurus kedepan.
“ Oh.”

Sebentar saja – atau hanya perasaanku? – kami sudah sampai di rumahku. 2 motor dan beberapa mobil terparkir nyalang di halamanku, kentara sekali sang pengendara begitu terburu - buru memarkir kendaraannya hingga tak memperhatikan aturan.

“ Kita masuk, mereka sudah menunggu” ujar Josh, menggamit sikuku dan menarikku masuk.
“ Pintunya…”
“ Sudah, cepat” ujarnya, membuka pintu depan yang tadinya terkunci.
“ Tapi… tadi aku menguncinya…” jawabku, kebingungan.

Belum sempat Josh mengatakan apa - apa, Tara sudah berada di hadapanku, menyeretku menaiki tangga, lalu menunjuk lukisan padang rumput yang kubuat. Aku bingung kenapa dia terlihat panik.

“ Kapan kau melukisnya?” tanyanya, terburu buru.
“ Entahlah, 2-3 bulan yang lalu mungkin, kenapa?”
“ Tempat aquamarine sebelumnya mati, tepat dibawah pohon itu” jelasnya, sama sekali tidak membuatku takut. Hanya bingung.
Well…” aku baru memulai ketika dia sudah menyeretku turun.

Semuanya terduduk diam di sofa. Beberapa duduk di karpet dengan mimik yang sama. Kaget, panik. Aku bingung apa yang membuat mereka semua begitu kalut. Mereka semua terkesan seperti patung. Josh menatap mataku, aku menatapnya kembali. Sesuatu dalam tatapannya mengingatkanku akan sesuatu yang familier. Begitu dekat dan mudah untuk kuraih, tetapi ketika tanganku hendak menggapai ingatan itu, ingatan itu hilang.

“ Kenapa kau tidak memberitahu kami akan visi visi mu?” tanya Jinx dengan suara rendah.

Aku hanya diam. Menggelengkan kepalaku. Rasanya pening. Aku menarik napas dalam dalam. 2 kali.

“ Kenapa kalian semua begitu kalut? Itu hanya visi bodoh dan tidak ber…”
Tapi itu menentukan masa depan kami… kapan terakhir kau mengalaminya?” tanya Sam.
“ Tadi, di mobil, saat aku dan Josh berangkat sekolah,” ujarku.

Sorot mata Sam berubah. Terlihat pedih? Kecewa? Dikhianati? Namun sebelum aku sempat mengetahui dengan pasti sorot apa itu, mimiknya kembali seperti semula. Datar, profesional. Seperti CIA atau Dinas Rahasia saat menginterogasi seseorang.

“ Dan?” tanya George padaku.
“ Dan apa?”
“ Apa yang kau lihat?”
“ Apakah sebaiknya aku menceritakannya dari awal?” tanyaku, nadaku lebih tajam dari yang kumaksud.
“ Ya,” jawab George.

Maka aku menceritakan mimpiku dari awal. Dimana aku dikejar, ditangkap, nyaris terbunuh. Jinx dan Tara mengernyit membayangkannya. Urat di tangan Sam berkali - kali mengejang. Lalu ketika aku sampai pada bagian Josh, aku menyamarkan namanya menjadi ‘seorang laki - laki yang familier, namun aku tak ingat’. Sam melirik Josh, begitupula sebaliknya. Lalu kemudian aku sampai pada bagian paling mengerikan.

“ … dan lelaki itu bilang ‘Semuanya kembali, kecuali Theo, Max, dan George’. Lalu suasana berubah menjadi mengerikan, padahal sebelumnya semuanya tenang,” aku mengakhiri ceritaku.

Aku tak kuat menatap wajah Max, George, dan Theo yang sudah pucat, ketakutan, namun sekilas kemudian bisa menguasai diri. Jinx menangis di pundak Tara. Sam dan Josh masih saling menatap. Aku sendiri mulai menggigit - gigit bibir karena gugup. Josh bangkit dan duduk di sampingku, merangkul bahuku.

“ Tenanglah, semuanya akan baik baik saja…” ujarnya, menggosok - gosok lengan atasku.
“ Aku tetap tidak yakin”
“ Percayalah padaku. Kau percaya kan?” tanyanya.
“ Ya”
“ Bagus” ujar Josh.

Lalu ia menggeser wajahnya, hendak mencium pipiku, tapi aku menghindar. Josh mendesah dan bangkit dari sisiku. Semua memandangi kepergiannya menuju ruang hobi. Sam menyusulnya, tersenyum menenangkan kepadaku, dan berjalan kearah Josh tadi pergi. Jinx sudah berhenti menangis, mulai menenangkanku yang terisak. Awalnya pelan, tapi semakin lama semakin keras.

“ Maafkan aku… aku tidak seharusnya… menyembunyikan ini… dari kalian…” ujarku disela sela isak tangisku.
“ Tidak apa, Al, selama kau masih hidup, selama batu aquamarine tidak dicuri, maka kelangsungan hidup kami, baik hidup… maupun mati, akan lebih baik. Kami memang ditugaskan membimbingmu, Al, menemanimu sampai kau siap. Ketika kau sudah siap, kami, para Birthstones yang tersisa harus membantumu menghancurkan The Hunter,” jelas Jinx.
“ Tapi kalian… aku… apakah visi itu valid? Tidak dapat diganggu gugat lagi?”
“ Entahlah… kami sama tidak tahunya denganmu,” ujar Tara.

Aku berhenti menangis, aku meminta kepada Tara untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai aquamarine sebelumnya. Menurut Tara, kekuatan aquamarine-lah yang paling tidak pasti diantara semuanya. Tentu saja semuanya memiliki kekuatan untuk melihat masa depan, namun ada kalanya visi itu valid, ada kalanya tidak, ada kalanya visi itu jelas, ada kalanya juga visi itu berupa potongan - potongan petunjuk yang masih harus dirangkai. Sayangnya, mereka sama butanya denganku. Mereka belum tahu jenis aquamarine apakah aku ini.

Josh keluar dari ruang hobi, terlihat kesal, tangannya gemetar menahan amarah. Wajahnya memerah sedikit, kelihatan seperti baru menghadapi cek-cok hebat. Beberapa detik kemudian, Sam menyusul dengan wajah biasa saja. Datar, namun senyum di wajahnya berbeda dari seyum ramahnya yang biasa. Senyumnya mengisyaratkan kemenangan. Lalu dengan gaya biasa saja – seolah itu hal yang wajar – dia duduk di sebelahku, dan mulai merangkul dan menenangkan  diriku yang masih setengah panik dan kaget.

Lalu dia memelukku.

Tuesday, June 21, 2011

Lanjutan Birthstones (15)


Mataku mengerjap terbuka. Aku tidak berteriak ataupun menangis, memori - memori tentang mimpi yang terus bersambung itu berputar seperti movie trailer di dalam benakku. Aku gemetar lagi. Kulirik jam di nakasku, pukul 5 pagi. Seharusnya masih terlalu pagi untukku, tapi toh aku langsung bersiap menuju sekolah.

Air panas terasa nyaman di tubuhku yang kelewat dingin. Aku gemetar untuk beberapa saat. Setelah selesai, aku beranjak ke kamarku untuk berganti baju. Aku memakai pullover cokelat gelap berleher V dari bahan kasmir yang dibelikan Mom beberapa bulan yang lalu. Lalu celana khaki berwarna krem lembut. Meskipun sudah memakai pullover, aku tetap menyambar jaket ku dan mulai memasukkan barang-barang kedalam tas. Rambutku yang hitam belum kusisir, kesannya seperti aku baru bangun tidur. Masa bodoh-lah pikirku.

Tanpa sarapan sedikitpun, aku menyambar kunci mobil dari meja ruang tamu. Mencabut pita warna krem dengan sekali sentakan kasar lalu menuju garasi.

Sneakers-ku membuat suara berkeretak saat berjalan di kerikil-kerikil yang menutupi hampir seluruh jalan menuju garasi. Kubuka pintu garasi dengan kunci otomatis. Lalu menyibak kain parasut abu-abu yang menutupi mobil baruku dalam sekali sentak.

Dan aku menganga kaget – bisa dibilang nyaris menjerit ketakutan, tapi kutahan –

Disanalah, mobil baruku, Hitam, mengilap. Dengan kaca film gelap yang kurasa sanggup menahan sinar matahari hingga lebih dari 90 persen. Well, kurasa ini memang Audi A4, tapi kelihatannya bukan tahun ’98-an.

Aku mendesah melihat mobil baruku itu. Dad benar benar mengerjaiku – dengan lelucon yang tidak lucu – aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi mengenai mobil itu. Ponselku bergetar, SMS… kubuka pesan singkat yang ternyata berasal dari Dad.

“ Kau suka mobil barumu? Audi itu tahun 2009. A4 2.0T. aku tak bisa memberimu sesuatu yang less-safety,” begitu bunyinya.

Aku mendesah pasrah dan membuka pintu mobil dengan kunci otomatis, lalu menyalakan mesin dengan tombol start/stop otomatis. Deruman mobil itu lembut, nyaris tidak terasa getarannya. Kemudian teleponku berbunyi. Tanpa melihat nama yang tertera, telepon itu sudah kuangkat.

“ Halo?”
“ Hai, umm... kau sudah siap ke sekolah, kan?”
“ Tentu saja sudah,” jawabku.
“ Bagus, tiga menit lagi aku sampai. Jangan membuatku menunggu. Kuantar kau ke sekolah,”
“ Ehhh... sebaiknya… halo? Halo? Ugh.,” ujarku ketika telepon diputus “ dasar cowok aneh…” gerutuku sambil mematikan mesin mobil.

***

Mobil hitam memasuki halaman depan rumahku, mobil SUV hitam, lebih tepatnya. Gruille-nya memberitahuku kalau mobil itu adalah Volvo.

“ Hei” Josh keluar dari mobil itu, memakai kacamata hitam, jeans dan pullover gading pucat.
“ Hai” ujarku, berusaha membalas senyumnya.
“ Rumahmu kosong, tidak ada orang?” tanyanya, menunjuk rumahku.
“ Tidak, aku sendirian. Buat apa kau memakai kacamata?” tanyaku, lalu mencabut kacamata itu dan menyelipkannya di saku samping jeans-nya.
“ Kau mau berangkat sekarang?” tanyanya, nada suaranya gugup.
“ Sekarang, baiklah…” ujarku. Aku membuka pintu mobil dengan seenaknya lalu melompat masuk. Josh tergelak sedikit melihat tingkahku.
“ Maaf” sambungku, sambil tersenyum ketika dia sudah masuk ke mobil.
“ Kau tidak berubah, tahu tidak?” katanya, lalu menyalakan mobil itu dan memundurkannya.
“ Tidak berubah bagaimana?” tanyaku.
“ Tidak apa – apa,” jawabnya.

Aku mendengus kesal ketika dia tak mau memberikan jawabannya. Aku mengerutkan dahi, kesal. Sampai kemudian tangannya mengacak-acak rambut pendekku. Jantungku mulai berdetak tak keruan.

“ Jangan berkerut terus, nanti kau cepat tua…” candanya.
“ Jangan mengacak-acak rambutku dong…” protesku, masih bercanda.
“ Kau kurang tidur, ya?” tanyanya.
“ Kurang lebih, ya.,” jawabku singkat.
“ Jaga kesehatanmu…” jawabnya sambil lalu, masih memandang lurus.

Dalam 10 menit kami sudah dapat melihat gedung sekolah. Josh masih tertawa keras- keras karena lelucon yang kuceritakan, ketika dunia di sekelilingku kabur dan mulai berganti dengan dunia mimpiku semalam. Hanya kelebatan tak jelas sebelum akhirnya mataku tertancap pada sebuah pisau yang menancap di tanah, batu berlian menghiasi gagangnya, dibalut emblem, persis milikku.

“ Al? kau baik-baik saja?” tanya Josh, tangannya di pundakku, mobil dihentikan hanya beberapa meter dari pintu masuk sekolah.
“ Siapa yang memiliki batu Berlian? Siapa?”
“ Apa?”
“ Batu Berlian! Siapa yang memilikinya?”
“ Kau melihat ‘ The Hunter’?” tanyanya, matanya menyorotkan kengerian.
“ Siapa ‘ The Hunter’?”
“ Musuh semua pemilik birthstone, penghancur, pemusnah… kejam, berdarah dingin,” jawabnya.
“ Aku sering memimpikannya…” ujarku.

Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku Josh sudah memutar balik mobil, lalu menelepon seseorang, menyelipkan earpiece hitam kecil di telinganya. Aku terlalu kaget sampai tidak tahu harus berbicara apa. Aku bahkan tidak mendengar apa yang ia katakan di telepon.

“ Kau mau membawaku ke mana? Kita bisa terlambat!” protesku ketika dia sudah melewati supermarket dengan kecepatan tinggi, kami bisa ditilang kalau begini terus.
“ Kenapa kau tidak bilang?!” dia membentakku dengan panik.
“ Tentang apa?” aku balas membentak.
“ The Hunter! Tentangnya! Kenapa? Kau tahu kau dalam bahaya? Kita semua dalam bahaya! Kenapa kau tidak memberitahu kami tentang visi - visi mu?!”

Aku terdiam, bingung, shock, panik dan ketakutan.

“ Itu bukan visi, hanya mimpi, tidak lebih, astaga! Turunkan kecepatanmu!” protesku.
“ Tetap saja! Kau harusnya memberitahu kami! Atau paling tidak, aku!” dia menyemburkan kata terakhir itu, mengalihakn pandangannya sebentar kearahku.
“ Maafkan aku…” ujarku lirih, sekarang aku mengerti, dia sakit hati “ Maafkan aku… aku seharusnya memberitahumu, maaf…” ujarku pelan, lembut.

Josh mendesah berat. Menurunkan kecepatan sampai akhirnya mobil benar - benar berhenti.

“ Aku minta maaf, aku tak seharusnya membentakmu seperti itu. Maaf…” tangannya menutupi wajahnya, terkesan lelah.
“ Apakah kita akan kembali ke sekolah?” aku bertanya
“ Tidak hari ini…” dia tertawa gugup “ telepon orang tuamu, bilang kau sakit, beralasanlah… hari ini kita berkumpul di rumahmu,”
“ Rumahku?” ujarku, mengeluarkan ponsel dan menelepon Mom. Telepon diangkat pada deringan pertama.

“ Mom?” aku mencoba memaksakan suaraku serak.
“ Alice? Kau terdengar sakit,” Jawabnya khawatir
“ Yeah, memang, tapi hanya pusing pusing sedikit, semalam aku tak bisa tidur, bisa Mom menelepon sekolah?” ujarku, suaraku memohon.
“ Baiklah, aku akan menelepon sekolah. Pastikan kau istirahat, ya, sayang?”
“ Tentu, Mom, terimakasih,”
“ Sama - sama, sayang,” dan telepon diputus.

Josh melanjutkan berkendara ke rumahku. Sepanjang perjalanan kami terdiam. Aku gemetar, setengah ketakutan, setengah kedinginan. Tapi bahkan jaket di tanganku tak kupakai. Josh memandang lurus kedepan, dagunya keras. Aku mulai memainkan liontinku lagi. Josh juga mengusap - usap gelang kulitnya. Bisa kulihat tiga batu topaz kuning disana. Kira kira 3 menit sebelum sampai di rumahku, Josh berkata.

“ Mereka sudah tiba…”

***

Hei, bloggers! thanks for reading, ya.. and i will appreciate your comments about my novel and any other stuff about it. and that's all for part 15... see ya on the next part!

Friday, June 17, 2011

Lanjutan Birthstones (14)

TRANGGG

Garpu yang kugunakan untuk memakan telur orek-ku terjatuh dan berkelontangan di lantai dengan nyaring, aku tertegun sesaat, lalu tersentak dan mengambil kembali garpu tersebut, menyimpannya baik - baik di samping piringku, aku kehilangan nafsu makan.

“ Milan?” ujarku sambil menelan ludah. Tara dan Jinx juga melongo memandangku sebelum akhirnya bisa membenahi ekspresi mereka.
“ Ya, bukankah hebat? Maksudku… Milan… desainer senior disana tertarik melihat hasil desain-ku, katanya desain-ku menarik, kau… tidak keberatan, kan, sayang?” tambah Mom buru - buru ketika melihat perubahan air mukaku.
“ Tidak, tentu saja aku turut senang, Mom, selamat” ujarku sambil bangkit berdiri dan memeluk Mom.
“ Tapi, Alice…” Dad memulai “ aku juga harus menemani ibumu” lanjutnya dengan suara perlahan. Dan aku melepaskan pelukanku padanya.
“ Dad?” tanyaku.
“ Well, kau akan ditemani Aunt Christine mulai lusa” ujar Mom tenang.
“ Tapi, Mom… Dad…” aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak bisa bicara.
“ Alice, tidak lama, kok, paling hanya 3-4 bulan, kau juga sudah pernah, kan ditinggal seperti ini?” tanya Dad.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum palsu.

***

Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menjalani hari - hariku seperti biasa, Josh sudah memberitahu kalau siapapun yang memata - mataiku berhasil lari. Aku hanya mengangguk lemah dan mengatakan aku akan baik - baik saja. Aku pasti benar - benar terlihat seperti mayat hidup karena, bahkan di kelas pertama, Josh sudah menghujaniku dengan berbagai pertanyaan, aku hanya ber “hmmm” tak peduli sementara akhirnya Josh menyerah dan menyadari kalau suasana hatiku sedang buruk. Di kelas kelas lain, Jinx, Sam, Theo, maupun Tara tidak menanyakan apa - apa dan aku senang ketika akhirnya mereka bisa mengerti perasaanku.  

Saat makan siang adalah saat yang paling bisa kunikmati, Max benar - benar bisa melontarkan lelucon yang benar - benar lucu, aku tertawa hingga meneteskan air mata. Kelas Biologi juga cukup menyenangkan, kami berdua – aku dan Sam – berhasil membuat murid lain menganga karena mengidentifikasi tahapan mitosis menggunakkan mikroskop kurang dari 2 menit – bayangkan!- , lalu Sam membiarkanku mendengarkan I-pod-nya dan menikmati lagu - lagu klasik didalamnya yang mengalun lembut.

Aku benar - benar senang ketika Mona mendapat dua tamparan dari Tara – dengan perisai, tentunya – di kelas olahraga saat kami bermain voli yang menyebabkan smash tim lawan menembus garis pertahanan kami. Aku bahkan tidak peduli lagi dengan menang atau kalah, karena Mona jelas - jelas berusaha mencederaiku. Aku terus menghindar dan mencari tempat aman dimana Mona tidak bisa menjangkauku.

Mom dan Dad pasti sudah berkemas, pikirku. Aku sedih harus ditinggalkan lagi, sebetulnya aku bisa saja ikut, tapi aku tidak mau menyusahkan mereka terus, toh mereka jarang liburan dan refreshing, aku seharusnya lebih mengerti mereka.

Perjalanan pulangku cukup menyenangkan, Tara memaksa ikut, begitu pula dengan George dan Max. tetapi ketika kukatakan “ aku harus membantu berkemas” mereka langsung mengurungkan niatnya dan berjalan menuju mobil masing - masing dan pulang. Di perjalanan aku mengemudi dengan hati - hati, jalanan lembab dan licin ini bisa saja mencelakaiku hanya dengan satu kesalahan kecil. Ketika memasuki halaman rumah, aku melihat Mercedes Mom sudah diparkir di garasi.

Dan melihat mobil baruku, terparkir tepat di sebelah Mercedes Mom. Masih tertutup kain parasut abu - abu. Tetaapi aku sama sekali tidak tertarik untuk mengintip.

Dengan sabar, aku memarkir BMW Dad di depan pintu, mematikan mesin dan masuk – miris melihat tumpukan tas dan koper di ruang tamu – lalu segera menuju kamar mandi untuk menjernihkan pikiran dan menyegarkan tubuhku. Air panas yang mengucur dari pancuran melemaskan otot - ototku yang kaku, dan entah kapan aku memulainya, aku menangis.

Kepergian Mom dan Dad memang bukan hal baru bagiku, seperti sudah rutinitas. Mom adalah desainer furnitur dan busana yang cukup mahir, Dad, well dia memang harus sering berpindah sesuai dengan tuntutan pekerjaannya sebagai seorang dokter. Dad jarang bekerja di rumah sakit besar, namun Dad benar - benar orang terpandang di bidang kesehatan dan sekarang Dad sudah memiliki 2 rumah sakit pribadi di LA dan New York. Dad juga memiliki organisasi palang merah yang cukup handal, sehingga tidak asing bagiku untuk menemukan Dad di TV yang disiarkan langsung dari belahan dunia lain yang tak pernah kukunjungi.

Tangisku tak kunjung berhenti, kuseka pipiku yang telah hangat oleh air mata bercampur air panas dari pancuran dengan tanganku. Aku harus berhenti menangis, pikirku. Ini bukan apa – apa, kau sudah 17 tahun Alice, Demi Tuhan, pikirku pada diri sendiri.

Tapi saat ini benar - benar bukan saat yang tepat, aku baru saja nyaris dibunuh dan sekarang Mom dan Dad mau pergi meninggalkanku ke Milan untuk 3-4 bulan atau bahkan lebih, ditambah lagi dengan Aunt Christine yang akan tinggal denganku, bukannya dia menyebalkan, tapi aku tahu dia sibuk, interaksi diantara kami pastilah akan sangat sedikit.

Setengah sadar aku mulai mencuci rambutku, menyikat gigiku dan membebat tubuhku dengan handuk tebal. Ketika keluar dari kamar mandi, aku berhasil menguatkan diriku dan menahan air mataku. Memakai piama yang paling nyaman yang pernah kumiliki seumur hidupku dan menuju ruang makan dimana Mom sudah menyiapkan makan malam dengan aroma yang membuatku meneteskan air liur. Mom langsung menyuruhku duduk dan aku memakan masakannya dengan lahap. Telepon di dapur berdering. Aku bangkit dan mengangkatnya.

“ Hello? Hartman’s Residence” seruku sopan.
“ Samantha Hartman?” tanya suara itu dengan aksen kental.
“ Oh… umm.. who am I talking with?“ jawabku.
“ this is Signor Joe “ jawabnya, mmh, dari Milan, pikirku.

Lalu aku memanggil Mom dan menyerahkan gagang telepon kepadanya.

Mom mulanya tampak tenang, namun menjelang telepon ditutup mulut Mom mengejang, Mom tertawa gugup, mengiyakan dan menutup gagangnya.

“ Kenapa, Mom?” tanyaku, masih berkonsentrasi dengan sup krim jagungku.
“ Besok Mom harus sudah tiba di Milan” ujarnya panik. Dad yang masih menyuap sup krim nya dengan perlahan mulai mempercepatnya.
“ Berarti Mom dan Dad akan berangkat malam ini?” tanyaku, terbengong - bengong.
“ Ya” jawab Mom dan Dad berbarengan.

Mom menghampiri telepon lagi dan – sepertinya – menelepon bandara, berdebat sedikit lalu mengangguk pasrah. Sementara Dad sudah turun dan memanaskan mobil. Melihat kepanikan yang terjadi, aku berinisiatif memeriksa barang bawaan Mom dan Dad, memasukkan paspor, dompet, dan segalanya kedalam tas kecil, lalu mulai memasukkan koper - koper tersebut kedalam BMW Dad – dengan bantuan Dad, tentunya – secepat mungkin. Aku mendengar Mom berlari menuruni tangga dan membanting pintu kamar, Dad juga sudah mematikan mesin dan masuk ke kamar untuk bersiap.

Tinggallah aku sendiri di ruang duduk yang sunyi.

Beberapa menit kemudian Mom sudah keluar dengan pakaian lengkap namun masih mengatur rambutnya yang ikal seperti pegas menjadi kuncir kuda teranggun yang pernah kulihat – tentu saja untuk ukuran orang yang mengikat rambut sambil berlari –. Mom  menghampiriku, mengecup pipiku dan berkata.

“ Christine akan datang lusa dan kau boleh mengundang temanmu menginap malam ini. Kunci semua jendela dan pintu.. dan ohh… apa lagi ya..” ujarnya super cepat.
“ Aku mengerti, Mom, sudah, Mom tidak boleh telat, kan?” ujarku setenang mungkin.

Aku mengunci pintu garasi, mengunci jendela dan menarik semua vitrage hingga menutup, juga mengunci pintu belakang. Ketika aku selesai, Mom dan Dad sudah berpakaian lengkap dan berdiskusi pelan. Ketika melihatku datang, Mom dan Dad memelukku bergantian dan mengucapkan salam perpisahan, memberiku nomor mereka di Milan nanti, lalu menaiki BMW Dad.

Dan pergi.
***
 
Entah sudah berapa lama aku terjaga. Aku terduduk di kasur, tanpa bersuara, tanpa bergerak sejak Mom dan Dad pergi. Aku bahkan tidak menangis…

Kutolehkan kepalaku dengan kaku kearah jam di nakas. Jam menunjukkan pukul 1 lewat 15 malam. Aku beranjak dengan kaku dari tempat tidurku, liontinku bergoyang sesuai dengan irama langkahku saat aku berjalan menuju dapur. Mom meninggalkan 300 dollar di meja makan. Tetapi aku bahkan tidak melirik kearah uang yang tergeletak begitu saja di meja makan. Dengan kaku aku membuat kopi, memasukkan gula dan krim kedalamnya lalu terduduk kaku di meja makan, meminum kopinya perlahan.

Setelah selesai, aku-pun meletakkan gelas dalam bak cuci piring tanpa mencucinya terlebih dahulu. Rumah yang kosong terkesan menakutkan dan sepi mencekam. Aku menggigil, bahkan setelah menarik selimut sampai ke dagu. Aku enggan memejamkan mata.. namun akhirnya – entah kenapa – kantuk menyergapku dan menyeretku secara paksa kedalam mimpi yang tak kuinginkan.

***

Api meretih sementara aku meminum air dalam cangkir tersebut dengan rakus, tenggorokanku seperti disayat - sayat pada setiap teguk air yang kuminum, aku menghiraukan rasa sakit itu dan tetap meminumnya hingga tetes terakhir.

“ Apa kau baik baik saja?” tanya Josh, masih berada di sampingku.
“ Yeah, kurasa begitu.” jawabku ringan.
“ Apa kau bertemu dengan yang lain?”
“ Tidak” jawabku, nadaku turun dan terdengar sangat sedih dan kecewa.
“ Kami beruntung kau masih hidup, kalau tidak ini semua sia - sia saja.” ujarnya.
“ Yeah, kurasa begitu.” jawabku, menggosok - gosok kedua tanganku. Aku kedinginan.
“ Kau kedinginan?” tanya Josh. Apakah aku mengucapkannya keras - keras?
“ Sedikit.” aku berbohong.
“ Sini.” katanya, lalu dia menyampirkan sebelah lengannya, merangkul pundakku.
“ Trims.” ujarku singkat. Kehangatan dari tangannya menjalari punggungku.

Kami duduk berdampingan seperti itu untuk beberapa saat. Sampai kemudian Josh berkata.

“ Mereka disini…” katanya pelan “ …mereka selamat.” lanjutnya.
“ Siapa saja?” tanyaku, kengerian pasti jelas terpatri di wajahku.
“ Hampir semuanya, kecuali…” dia menggantungkan kalimatnya disana.
“ Kecuali…” aku mendesaknya.
“ Kecuali Theo, Max, dan George.” ujarnya, menatap mataku dalam.
“ Sudah kuduga…” ujarku pelan, lalu segalanya meredup… perlahan namun pasti menyedotku ke kegelapan tanpa akhir.

***
 And that's all for part 13. Thanks for reading!

Senyuman palsu


Jujur aja, deh, bahkan untuk diri gue sendiri, judul diatas itu MUNAFIK banget. Tapi siapa sih, yang bisa memungkiri? Pastilah ada satu-dua diantara kita yang pernah ngelakuin hal diatas untuk menutupi perasaan kita sendiri, kan? Tersenyum dan –dengan teganya- membohongi hati kita sendiri, lalu berpura-pura kalau segalanya itu beres, baik baik aja dan bahagia. Tapi sesungguhnya senyum-palsu-yang-tidak-menyentuh-mata ini justru memperparah luka yang sedang kita tutupi. Bahkan membuatnya infeksi dan bernanah. Meninggalkan lubang menganga menyakitkan ditengah hati kita yang sudah kelewat perih karena disakiti.

Ini –sumpah- bukan curhatan galau, karena senyuman palsu ini gak hanya untuk mereka yang tersakiti karena masalah cinta dengan pacar atau gebetan. Bahkan kadang justru keluarga atau teman kita sendiri-lah yang menorehkan luka mendalam dan meninggalkannya begitu saja dengan keadaan bernanah dan berdarah-darah.

Jujur aja, ya, gue sendirir SANGAT SERING melakukan hal SUPER MUNAFIK (maap capslock-nya ga nyantai) diatas. Tapi sumpah, sama sekali gak membuat keadaan jadi lebih baik, karena orang yang menorehkan luka itu gak bakal tau perasaan kita sesungguhnya dan bakal terus menyakiti kita. Berulang-ulang.

Jujur aja, kalo hati lo udah tersakiti sampe lo harus tersenyum palsu untuk membohongi hati dan perasaan lo sendiri (re: sakit hati yang PARAH BE-GE-TE), lo gaakan bisa lagi menjalani segalanya dengan biasa biasa aja. Karena setiap momen hari yang lo lewatin cuma memperparah keadaan dan menuangkan perasan jeruk keatas luka lo yang udah parah dan susah disembuhin.

Terdengar kayak sinetron, mungkin, tapi gue pernah mengalami masa masa kayak gitu. Masa dimana gue tidur dalam keadaan kelelahan menangis dan bangun dengan keadaan berharap, berdoa, dan bertekad bahwa hari sebelumnya hanya mimpi buruk. Lalu keluarlah senyum munafik gue untuk membohongi dunia. Terdengar kayak Twilight, mungkin, tapi gue pernah mengalami masa masa seperti itu, masa dimana gue megap-megap kehabisan udara saat dia menorehkan luka baru. Masa dimana gue berpikir kalau hati gue mungkin udah rusak sepenuhnya dan gaakan bisa deperbaiki lagi. Terdengar kayak Love Command, mungkin, tapi gue pernah mengalami masa masa itu, masa dimana gue piker hati gue rusak, udah jadi besi berkarat, rongsok, pantas dibuang.

Beruntung gue masih sanggup bertahan masih sanggup membohongi diri gue sendiri kalau akan tiba saatnya nanti, seseorang yang lain akan memperbaiki hati gue, menjahit luka luka, memberikan penahan rasa sakit, mempoles karat karat dan memberikan degup baru di hati gue yang sudah mati rasa ini, beku, mati. Beruntung gue masih sanggup percaya, bahwa orang itu nantinya akan jadi udara baru, matahari baru, kalau perlu morfin baru yang akan memeprbaiki segalanya.

Tapi jujur aja, tersenyum palsu GAK SALAH. Karena toh lu hanya menyakiti diri sendiri dan juga membohongi perasaan diri lo sendiri, kan? Jadi menurut gue ya.. sah-sah aja-laaah, gak salah kok membohongi diri lo sendiri.. meskipun saat kebohongan itu tak kunjung menjadi kenyataan yang berarti, lo hanya membunuh diri lo sendiri, menorehkan luka final yang takkan pernah bisa diperbaiki.

Thursday, June 9, 2011

Lanjutan Birthstones (13)


Aku sedang berada di kamar mandi ketika Mom dan Dad pulang. Ketika aku keluar kamar mandi aku mencium bau ayam goreng dari dapur, perutku berbunyi. Memakai baju dengan tergesa - gesa, aku langsung berlari menuju dapur dan memakan masakan Mom. Dad hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuanku yang makan dengan lahap.

“ Kudengar dari Coach Craig tadi kau pingsan di kelas olahraga?” tanya Mom tiba - tiba, membuatku tersedak
“ Not a big deal.” jawabku setelah meminum setengah gelas air.
“ Jangan pernah menganggap remeh hal - hal kecil, sayang.” jawab Dad sabar.
“ Yeah, Dad, Okay.” jawabku, membawa piringku ke tempat cuci.
“ Yakin kau baik baik saja, sayang?” tanya Mom.
“ Yeah, Mom.” ujarku, tersenyum sebaik mungkin kepadanya.
“ By the way, your car will be here tomorrow, in the morning.” kata Dad pelan.
“ Really? Well, that’s earlier.” ucapku, berusaha bersikap antusias, tetapi menyerah karena suaraku seperti merajuk.
Well, kau juga tidak terdengar sesenang yang kami harapkan..” ujar Mom, memojokkanku.
“ Apakah aku perlu mengambil pom-pom?” ujarku sinis, meskipun dengan urutan nada yang masih sangat sopan untuk ukuran sinis.

Mom dan Dad hanya mengangkat bahu. Setelah kukeringkan tanganku. Aku bingung apa yang akan kulakukan. Sekarang masih pukul 7 dan aku sudah tidur cukup lama tadi, sekitar 1,5 sampai 2 jam. Minum teh? Aku kekenyangan – thanks to Mom’s fried chicken– dan mungkin gak akan makan sampai besok siang. Main piano, boleh saja sih, tapi kayaknya Mom sibuk, jadi akan lebih baik jika aku tidak menimbulkan bunyi - bunyian. Bagaimana kalau melukis?

Mendengar ide tersebut terbentuk dalam pikiranku, aku berlari menuruni tangga dan dengan cepat mempersiapkan stool – kursi tinggi – untuk melukis, kaki kanvas, dan peralatan lainnya. Setelah semuanya siap, barulah aku memikirkan… apa yang akan kugambar?

Setelah berpikir selama kurang lebih 15 menit, aku tak kunjung menemukan ide. Aku mulai gelisah, pikiranku buntu. Triiing! Sebuah ide tiba tiba muncul di benakku, aku akan mencoba aliran realisme, ini baru bagiku, aku biasanya memakai aliran abstrak atau ekspresionis. Baiklah, sekarang sudah ada kemajuan… aku ingin menggambar…

Josh?

Aku kaget menemukan nama itu dalam pikiranku. Benarkah aku sudah begitu terjebak di dalam….

Tidak, tidak, ah! Bagaimana kalau Dad saja? Pasti Dad senang bukan main melihatku melukis wajahnya, hihi, bisa kubayangkan betapa deras air matanya nanti. Maka, dengan semangat meluap - luap, kugoreskankan pensil diatas kanvas, dan memulai membuat sketsa. Beberapa menit kemudian aku sudah selesai dengan sketsanya, aku mulai menorehkan garis - garis warna pada kanvasku, menemukan sosok orang yang paling kucintai di dunia ini.
***
“ Seharusnya aku minta Dad menjadi model sekalian” kataku, entah untuk keberapa kalinya kepada diriku sendiri.

Well, hasil karyaku tidak bisa dibilang jelek, bahkan bagus, sangat – eh.. ini kata Dad – tetapi tidak sesuai perkiraanku, mungkin memang saat itu sudah terlalu gelap hingga aku salah menorehkan warnanya, atau mungkin aku-nya yang sudah mengantuk – karena pada saat itu ruang hobi begitu… terang benderang! – bagaimana mungkin aku mengambil warna cokelat alih alih hitam?

Aku menghela napas, bagaimanapun kuperbaiki, wajahnya tidak akan berubah. Bahkan rasanya aku sudah mengenal bentuk wajah, alis, pipi, telinga, rambut, bibir, dan mata itu dengan sangat mendalam, tidak hanya untuk waktu yang singkat. Well, Dad tidak jadi menangis, kalau begitu. Pasrah, kutinggalkan sebuah bentuk curahan hatiku diatas kanvas.

Mungkin lebih tepatnya, curahan hatiku tentang Josh…

***
(rabu)
Aku bangun dengan badan kaku, bersyukur kali ini aku tidak bermimpi sama sekali. Aku menggeliat malas - malasan di kasurku, kulirik jam di nakasku, pukul 5 pagi, well kalau begitu, 15 menit lagiiii saja. Pikirku sambil menggulung diriku dalam selimut, memejamkan mata dan…

TAK!!

Mataku terbuka dengan cepat, aku duduk dan menyalakan lampu tidurku, kamarku kosong, aman. Dengan perlahan aku turun dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon, balkon juga tampak sepi, tidak ada orang. Dengan perasaan curiga dan kesal, aku membuka pintu, mengintip lewat vitrage jendela lorong yang tipis. Aku terkesiap, begitu shock hingga terjengkang. Kalau tidak salah…

Aku berlari kembali menuju kamarku, menekan - nekan dengan panik tombol ponselku sementara aku berlari menuruni tangga untuk memanggil Mom atau Dad. Tepat pada deringan kedua, Josh mengangkat.

“ Halo? Al? ada apa? Pagi sekali…”
“ Tolong… aku… bayangan… mengejar… diluar… rumah” ucapku susah payah diantara napas yang tersengal - sengal, kudengar desiran angin di speaker, Josh akan tiba sebentar lagi.

Aku mulai menggedor pintu kamar orangtuaku dengan panik. Terdengar jawaban yang menyuruhku sabar. Aku semakin panik ketika mendengar kunci kamar dibuka dengan sangat perlahan. Saking paniknya, begitu kunci kamar terbuka aku langsung membuka pintu dan masuk, menyalakan lampu dan melihat Dad yang shock memegangi pintu dan Mom yang masih memakai penutup matanya dengan rambut berantakan.

“ Ada apa?” tanya Mom dengan suara mengantuk.
“ Ada sesuatu yang memata - mataiku” ucapku, tersentak saat bel pintu dibunyikan.
“ Itu Josh” ujarku, menelepon Josh lagi, memastikan kalau yang diluar betul dirinya, ternyata benar.

Kubuka pintu, kulihat Josh yang memakai jeans, kaus dan jaket seadanya, rambut berantakan dan mobil yang diparkir tidak lurus. Aku rasanya lega sekali melihatnya, sampai ingin menangis. Mungkin Josh sudah melihat aku akan menangis, jadi dia merangkulku dan mengelus bahuku dengan lembut, menenangkan, hangat, segera saja aku merasa terlindungi dan nyaman, sepertinya rasa ini tidak asing. Tapi aku tak ingat. Semakin keras aku mencoba mengingat, semakin pening kepalaku, akhirnya aku menyerah.

Setelah yakin aku tidak lagi histeris, Josh menanyakan dimana aku melihat bayangan tersebut. Aku menjawab dengan penuh keyakinan kalau dia mengarah tegak lurus dengan aliran sungai dan sekarang bergerak dengan kecepatan penuh berkat ribut - ribut yang kutimbulkan, Sam datang hanya berselang 45 detik setelah Josh, Jinx dan Tara juga datang, mereka berpakaian lengkap dan telah siap berangkat sekolah. Tara dan Jinx akan menjagaku selama aku bersiap ke sekolah. Josh juga berbicara sesuatu tentang Max, George dan Theo, dan aku tidak heran kalau nantinya mereka juga akan membantu mencari. Mom kaget begitu melihatku kembali bersama dua teman wanita.

“ Baiklah, yang mana diantara kalian yang bernama Josh?” sama sekali tidak ada nada curiga dalam perkataan Mom, hanya keingintahuan murni yang tidak dibuat - buat.
“ Oh, bukan begitu, Tante, saya Jinx dan ini Tara” ujar Jinx sopan dengan senyum dibuat - buat – namun 100% meyakinkan, sumpah!-.
“ Oh, baiklah, mungkin kalian mau ikut sarapan? Kalian bisa menunggu di dapur kalau…” Mom memulai.
“ Aw.. Mom, aku sudah janji memberitahu mereka tentang novel yang waktu itu” ujarku melantur tak jelas.
“ Oh, iya! Ada di kamarmu ya?” tanya Tara pura - pura girang.
“ Baiklah kalau begitu, tapi kalau kalian lapar, silakan datang ke ruang makan kami, ya” ujar Mom, tersenyum, lalu menuju dapur.

Aku mandi secepat dan setenang mungkin, Jinx berada di depan kamar mandi sementara Tara di dalam kamarku. Entah apa yang mereka lakukan, tapi aku tahu pasti mereka sama cemasnya denganku. Aku memakai turtleneck cokelat dan jeans biru tua favoritku. Setelah semuanya siap, aku, Jinx dan Tara bersiap sarapan bersama orangtuaku. Mom dan Dad – untungnya – bersikap dengan sangat normal dan tenang. Aku-pun berusaha untuk terlihat tenang, well, meski hanya sampai Mom berkata.

“ Alice, Mom akan ke Milan.”
***

segitu dulu ya, kawaaaan.. maaf nih kalo cerita yang gue post sama sekali gak memusakan hasrat kalian hai para pembaca (?). tapi gue mau mengucapkan a HUGE THANKS AND HUG buat siapapun yang udah nungguin tulisan aneh bin ajaib gue ini. doain aja biar gue bisa mengasah kemampuan gue untuk menulis, jadi gue bisa mengimprove tulisan tulisan gue dan membuat sesuatu yang terus lebih baik. amiiin. oh, and do leave comments ya.. sumpah akhir akhir ini gaada komen sama sekali... (sedihnya hidupku... hiks hiks (?))