CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Tuesday, June 21, 2011

Lanjutan Birthstones (15)


Mataku mengerjap terbuka. Aku tidak berteriak ataupun menangis, memori - memori tentang mimpi yang terus bersambung itu berputar seperti movie trailer di dalam benakku. Aku gemetar lagi. Kulirik jam di nakasku, pukul 5 pagi. Seharusnya masih terlalu pagi untukku, tapi toh aku langsung bersiap menuju sekolah.

Air panas terasa nyaman di tubuhku yang kelewat dingin. Aku gemetar untuk beberapa saat. Setelah selesai, aku beranjak ke kamarku untuk berganti baju. Aku memakai pullover cokelat gelap berleher V dari bahan kasmir yang dibelikan Mom beberapa bulan yang lalu. Lalu celana khaki berwarna krem lembut. Meskipun sudah memakai pullover, aku tetap menyambar jaket ku dan mulai memasukkan barang-barang kedalam tas. Rambutku yang hitam belum kusisir, kesannya seperti aku baru bangun tidur. Masa bodoh-lah pikirku.

Tanpa sarapan sedikitpun, aku menyambar kunci mobil dari meja ruang tamu. Mencabut pita warna krem dengan sekali sentakan kasar lalu menuju garasi.

Sneakers-ku membuat suara berkeretak saat berjalan di kerikil-kerikil yang menutupi hampir seluruh jalan menuju garasi. Kubuka pintu garasi dengan kunci otomatis. Lalu menyibak kain parasut abu-abu yang menutupi mobil baruku dalam sekali sentak.

Dan aku menganga kaget – bisa dibilang nyaris menjerit ketakutan, tapi kutahan –

Disanalah, mobil baruku, Hitam, mengilap. Dengan kaca film gelap yang kurasa sanggup menahan sinar matahari hingga lebih dari 90 persen. Well, kurasa ini memang Audi A4, tapi kelihatannya bukan tahun ’98-an.

Aku mendesah melihat mobil baruku itu. Dad benar benar mengerjaiku – dengan lelucon yang tidak lucu – aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi mengenai mobil itu. Ponselku bergetar, SMS… kubuka pesan singkat yang ternyata berasal dari Dad.

“ Kau suka mobil barumu? Audi itu tahun 2009. A4 2.0T. aku tak bisa memberimu sesuatu yang less-safety,” begitu bunyinya.

Aku mendesah pasrah dan membuka pintu mobil dengan kunci otomatis, lalu menyalakan mesin dengan tombol start/stop otomatis. Deruman mobil itu lembut, nyaris tidak terasa getarannya. Kemudian teleponku berbunyi. Tanpa melihat nama yang tertera, telepon itu sudah kuangkat.

“ Halo?”
“ Hai, umm... kau sudah siap ke sekolah, kan?”
“ Tentu saja sudah,” jawabku.
“ Bagus, tiga menit lagi aku sampai. Jangan membuatku menunggu. Kuantar kau ke sekolah,”
“ Ehhh... sebaiknya… halo? Halo? Ugh.,” ujarku ketika telepon diputus “ dasar cowok aneh…” gerutuku sambil mematikan mesin mobil.

***

Mobil hitam memasuki halaman depan rumahku, mobil SUV hitam, lebih tepatnya. Gruille-nya memberitahuku kalau mobil itu adalah Volvo.

“ Hei” Josh keluar dari mobil itu, memakai kacamata hitam, jeans dan pullover gading pucat.
“ Hai” ujarku, berusaha membalas senyumnya.
“ Rumahmu kosong, tidak ada orang?” tanyanya, menunjuk rumahku.
“ Tidak, aku sendirian. Buat apa kau memakai kacamata?” tanyaku, lalu mencabut kacamata itu dan menyelipkannya di saku samping jeans-nya.
“ Kau mau berangkat sekarang?” tanyanya, nada suaranya gugup.
“ Sekarang, baiklah…” ujarku. Aku membuka pintu mobil dengan seenaknya lalu melompat masuk. Josh tergelak sedikit melihat tingkahku.
“ Maaf” sambungku, sambil tersenyum ketika dia sudah masuk ke mobil.
“ Kau tidak berubah, tahu tidak?” katanya, lalu menyalakan mobil itu dan memundurkannya.
“ Tidak berubah bagaimana?” tanyaku.
“ Tidak apa – apa,” jawabnya.

Aku mendengus kesal ketika dia tak mau memberikan jawabannya. Aku mengerutkan dahi, kesal. Sampai kemudian tangannya mengacak-acak rambut pendekku. Jantungku mulai berdetak tak keruan.

“ Jangan berkerut terus, nanti kau cepat tua…” candanya.
“ Jangan mengacak-acak rambutku dong…” protesku, masih bercanda.
“ Kau kurang tidur, ya?” tanyanya.
“ Kurang lebih, ya.,” jawabku singkat.
“ Jaga kesehatanmu…” jawabnya sambil lalu, masih memandang lurus.

Dalam 10 menit kami sudah dapat melihat gedung sekolah. Josh masih tertawa keras- keras karena lelucon yang kuceritakan, ketika dunia di sekelilingku kabur dan mulai berganti dengan dunia mimpiku semalam. Hanya kelebatan tak jelas sebelum akhirnya mataku tertancap pada sebuah pisau yang menancap di tanah, batu berlian menghiasi gagangnya, dibalut emblem, persis milikku.

“ Al? kau baik-baik saja?” tanya Josh, tangannya di pundakku, mobil dihentikan hanya beberapa meter dari pintu masuk sekolah.
“ Siapa yang memiliki batu Berlian? Siapa?”
“ Apa?”
“ Batu Berlian! Siapa yang memilikinya?”
“ Kau melihat ‘ The Hunter’?” tanyanya, matanya menyorotkan kengerian.
“ Siapa ‘ The Hunter’?”
“ Musuh semua pemilik birthstone, penghancur, pemusnah… kejam, berdarah dingin,” jawabnya.
“ Aku sering memimpikannya…” ujarku.

Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku Josh sudah memutar balik mobil, lalu menelepon seseorang, menyelipkan earpiece hitam kecil di telinganya. Aku terlalu kaget sampai tidak tahu harus berbicara apa. Aku bahkan tidak mendengar apa yang ia katakan di telepon.

“ Kau mau membawaku ke mana? Kita bisa terlambat!” protesku ketika dia sudah melewati supermarket dengan kecepatan tinggi, kami bisa ditilang kalau begini terus.
“ Kenapa kau tidak bilang?!” dia membentakku dengan panik.
“ Tentang apa?” aku balas membentak.
“ The Hunter! Tentangnya! Kenapa? Kau tahu kau dalam bahaya? Kita semua dalam bahaya! Kenapa kau tidak memberitahu kami tentang visi - visi mu?!”

Aku terdiam, bingung, shock, panik dan ketakutan.

“ Itu bukan visi, hanya mimpi, tidak lebih, astaga! Turunkan kecepatanmu!” protesku.
“ Tetap saja! Kau harusnya memberitahu kami! Atau paling tidak, aku!” dia menyemburkan kata terakhir itu, mengalihakn pandangannya sebentar kearahku.
“ Maafkan aku…” ujarku lirih, sekarang aku mengerti, dia sakit hati “ Maafkan aku… aku seharusnya memberitahumu, maaf…” ujarku pelan, lembut.

Josh mendesah berat. Menurunkan kecepatan sampai akhirnya mobil benar - benar berhenti.

“ Aku minta maaf, aku tak seharusnya membentakmu seperti itu. Maaf…” tangannya menutupi wajahnya, terkesan lelah.
“ Apakah kita akan kembali ke sekolah?” aku bertanya
“ Tidak hari ini…” dia tertawa gugup “ telepon orang tuamu, bilang kau sakit, beralasanlah… hari ini kita berkumpul di rumahmu,”
“ Rumahku?” ujarku, mengeluarkan ponsel dan menelepon Mom. Telepon diangkat pada deringan pertama.

“ Mom?” aku mencoba memaksakan suaraku serak.
“ Alice? Kau terdengar sakit,” Jawabnya khawatir
“ Yeah, memang, tapi hanya pusing pusing sedikit, semalam aku tak bisa tidur, bisa Mom menelepon sekolah?” ujarku, suaraku memohon.
“ Baiklah, aku akan menelepon sekolah. Pastikan kau istirahat, ya, sayang?”
“ Tentu, Mom, terimakasih,”
“ Sama - sama, sayang,” dan telepon diputus.

Josh melanjutkan berkendara ke rumahku. Sepanjang perjalanan kami terdiam. Aku gemetar, setengah ketakutan, setengah kedinginan. Tapi bahkan jaket di tanganku tak kupakai. Josh memandang lurus kedepan, dagunya keras. Aku mulai memainkan liontinku lagi. Josh juga mengusap - usap gelang kulitnya. Bisa kulihat tiga batu topaz kuning disana. Kira kira 3 menit sebelum sampai di rumahku, Josh berkata.

“ Mereka sudah tiba…”

***

Hei, bloggers! thanks for reading, ya.. and i will appreciate your comments about my novel and any other stuff about it. and that's all for part 15... see ya on the next part!

0 komentar:

Post a Comment