CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Wednesday, June 29, 2011

Lanjutan Birthstones (18)


Selesai makan—punya Josh tidak habis—aku mencuci piring kotornya, dibantu Sam, sementara Tara berbicara pelan dengan Josh mengenai sesuatu yang membuat dahi Josh berkerut. Sesekali aku merasakan tatapannya menghujam bahuku dan Sam yang menempel satu sama lain didepan bak cuci piring. Aku merasa agak jengah, tetapi Sam santai saja, bahkan sempat tersenyum tipis kepadaku.

Selesai mencuci piring, aku dan Sam duduk kembali di meja makan, mengobrol pelan tentang hal – hal ringan, seperti pekerjaan rumah, guru – guru yang kusukai dan tidak kusukai, film, novel, dan hal – hal ringan lainnya.

Ketika jam di dapur menunjukkan angka 9, Josh pamit pulang.Well, bukan pamit, tepatnya, tetapi langsung pulang tanya mengucapkan sepatah katapun.

Tinggallah aku, Sam dan Tara di dapur. Tara pamit sebentar untuk mengambil buku – buku di mobilnya. Aku dan Sam duduk dalam diam di meja makan. Aku bisa mendengar tetes air di bak cuci.

“ Al?” Sam memulai.
“ Yeah?”
“ Apa pendapatmu tentang Josh?” tanyanya, aku tersentak.
“ Mengapa kau menanyakan hal itu?” tanyaku.
“ Hanya ingin tahu,” katanya polos sambil mengangkat bahu.
“ Well… dia… teman yang baik,” jawabku diplomatis.
“ Hanya itu?”
“ Memangnya apa lagi?” aku balik bertanya. Dia tersenyum.
“ Kenapa tersenyum?”
“ Tidak apa – apa,” jawabnya ringan.
“ Dasa…”
“ Hei, ummmm, Alice, aku benar – benar minta maaf, aku harus pergi,” Tara tiba-tiba berkata dari pintu dapur.
“ Ah? Kenapa?”
“ Well, aku ada urusan mendadak, tidak apa - apa kan? Masih ada Sam, kok.”
“ Baiklah…” ujarku sambil menghela napas.
“ Terima kasih, Alice! Kau memang baik sekali!” ujar Tara, dia lalu mengecup pipiku, tapi lalu melempar pandangan galak kearah Sam. “ Kalau sampai ada sesuatu yang menimpanya…” dia memulai ancamannya.
“ Aku yang bertanggung jawab,” sela Sam.

Tara lalu pamit pulang. Aku dan Sam mengantarnya menuju Audi-nya. Ketika sampai di mobilnya, Tara lagi-lagi melempar pandang galak kearah Sam yang hanya ditanggapi dengan tawa. Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku menaiki undakan dan masuk kedalam rumah, Sam mengekor dibelakangku dan menungguku ketika aku mengunci pintu depan.

Lalu aku naik ke kamar mandi, dan menyikat gigiku, Sam menunggu diluar kamar mandi. Aku sedang membasuh mukaku ketika pintu kamar mandi diketuk.

“ Sebentar!” teriakku, mengambil handuk dan mengeringkan wajahku.

Gedoran di pintu semakin keras, gagang pintu dipaksa membuka, gedoran lagi. Kemudian aku mendengar seseorang mengerang.Aku mendengar suara hantaman di tembok. Kulempar handuk asal saja dan membuka pintunya.

Aku terkejut melihat Josh mencekik Sam dan menempelkannya ke dinding. Butuh waktu sedetik bagiku untuk bereaksi. Tanpa berpikir aku menarik tangan Josh.

“ Lepaskan dia! Lepaskan! Dasar bodoh!” aku meneriakinya.
“ No way!” balasnya dengan suara lebih keras.

Wajah Sam sudah memucat, mulutnya megap-megap kehabisan udara. Tangannya mulai terkulai, seringai kesakitannya mulai mengendur. Entah mendapat kekuatan dari mana, aku menonjok wajah Josh dengan sangat keras hingga ia melepaskan cengkeramannya di leher Sam. Sam merosot jatuh ke lantai, terengah-engah kehabisan napas.

Kemarahan membuncah dalam dadaku, rasanya seolah-olah ada seseorang yang menyurukkan timah panas kedalam rongga dadaku. Aku bisa mendengar geraman tertahan siap dilontarkan dari dalam dadaku.

“ Kenapa kau melakukannya! Dasar bodoh!” aku merenggut kerah bajunya dan membenturkan kepalanya ke tembok.
“ Dia pantas menerimanya!” dia kembali berteriak kepadaku, memandang ganas kearah Sam yang masih terduduk lemah.
“ Dia temanmu! Astaga! Memang apa salahnya?!” suaraku tak kalah garang.
“ Karena temanku itu berusaha merebutmu dariku!” teriaknya.

Hanya dibutuhkan satu kalimat itu untuk membuatku melepaskan cengkeramanku di kerahnya. Aku mundur beberapa langkah, sementara Josh semakin tersenyum puas dan melempar pandangan menghina pada Sam.

“ Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan. Dia sedang menjagaku, memangnya…”
“ Menjaga? Lalu mengapa ia sendirian? Dia mencuri kesempatan!” semburnya kepadaku.
“ Apa itu benar?” tanyaku pada Sam. Dia tidak menjawab dan tidak mendongak.
“ Lihat aku dan katakan yang sejujurnya!” aku memerintahnya.

Dia lalu mendongakkan kepalanya, memandangku dengan sorot memohon.

“ Kurasa itu cukup,” ujar Josh puas.

Aku menutup kedua telingaku, mundur langkah demi langkah menuju kamar. Kututup kedua telingaku, tak ingin lagi aku mendengar segala rahasia yang telah mereka pendam dariku. Tak ingin lagi. Aku sudah mendengar cukup.

Aku menggelengkan kepalaku, memejamkan mataku, dan ketika punggungku menyentuh pintu kamarku, aku merosot ke lantai. Masih menutup kedua telingaku dengan tangan. Aku tidak mau mendengarnya lagi, apapun itu.

Kurasakan tangan Sam menarik-narik kedua tanganku yang menutupi telinga. Kusentakkan tanganku dengan keras. Lalu, dengan spontan, aku berteriak.

“ KELUAR! Aku tak mau lagi melihat kalian! KELUAR!” ujarku. Tanganku disentakkan menjauhi telingaku, membuatku dapat mendengar kembali.
“ Buka matamu, Alice! Alice! Kumohon… ini hanya... kesalah pahaman…”
“ KELUAR!”
“ Alice…” Sam lagi-lagi berkata.
“ Kubilang KELUAR! Aku tak mau lagi melihat kalian berdua! Aku percaya pada kalian... ternyata selama ini kalian hanya mencari kesempatan! KELUAR!” aku menyemburkan kata itu tepat di wajah Sam yang kaget.
“ Alice… please… jangan,” ujar Sam, memohon.

Aku tidak menjawab apa-apa dan masuk ke kamarku, membanting pintunya. Langsung masuk dan membanting diriku di tempat tidur, menyelimuti diriku dengan bed coverku yang tebal. Pintuku diketuk. Aku berusaha mengabaikannya sebisaku.

Kukira selama ini aku hanya sebagai teman, teman seperjuangan yang harus mempertahankan diri dari cengkeraman jahat The Hunter. Lalu apa? Mereka manganggap dengan berada satu pihak denganku mereka bisa mengharapkan aku akan semudah itu jatuh cinta? Dasar cowok bodoh! Birthstone bodoh! Bah! Bah! Lupakan saja!

Entah kapan, namun aku tiba-tiba saja terlelap.

***

0 komentar:

Post a Comment