CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Friday, June 17, 2011

Lanjutan Birthstones (14)

TRANGGG

Garpu yang kugunakan untuk memakan telur orek-ku terjatuh dan berkelontangan di lantai dengan nyaring, aku tertegun sesaat, lalu tersentak dan mengambil kembali garpu tersebut, menyimpannya baik - baik di samping piringku, aku kehilangan nafsu makan.

“ Milan?” ujarku sambil menelan ludah. Tara dan Jinx juga melongo memandangku sebelum akhirnya bisa membenahi ekspresi mereka.
“ Ya, bukankah hebat? Maksudku… Milan… desainer senior disana tertarik melihat hasil desain-ku, katanya desain-ku menarik, kau… tidak keberatan, kan, sayang?” tambah Mom buru - buru ketika melihat perubahan air mukaku.
“ Tidak, tentu saja aku turut senang, Mom, selamat” ujarku sambil bangkit berdiri dan memeluk Mom.
“ Tapi, Alice…” Dad memulai “ aku juga harus menemani ibumu” lanjutnya dengan suara perlahan. Dan aku melepaskan pelukanku padanya.
“ Dad?” tanyaku.
“ Well, kau akan ditemani Aunt Christine mulai lusa” ujar Mom tenang.
“ Tapi, Mom… Dad…” aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak bisa bicara.
“ Alice, tidak lama, kok, paling hanya 3-4 bulan, kau juga sudah pernah, kan ditinggal seperti ini?” tanya Dad.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum palsu.

***

Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menjalani hari - hariku seperti biasa, Josh sudah memberitahu kalau siapapun yang memata - mataiku berhasil lari. Aku hanya mengangguk lemah dan mengatakan aku akan baik - baik saja. Aku pasti benar - benar terlihat seperti mayat hidup karena, bahkan di kelas pertama, Josh sudah menghujaniku dengan berbagai pertanyaan, aku hanya ber “hmmm” tak peduli sementara akhirnya Josh menyerah dan menyadari kalau suasana hatiku sedang buruk. Di kelas kelas lain, Jinx, Sam, Theo, maupun Tara tidak menanyakan apa - apa dan aku senang ketika akhirnya mereka bisa mengerti perasaanku.  

Saat makan siang adalah saat yang paling bisa kunikmati, Max benar - benar bisa melontarkan lelucon yang benar - benar lucu, aku tertawa hingga meneteskan air mata. Kelas Biologi juga cukup menyenangkan, kami berdua – aku dan Sam – berhasil membuat murid lain menganga karena mengidentifikasi tahapan mitosis menggunakkan mikroskop kurang dari 2 menit – bayangkan!- , lalu Sam membiarkanku mendengarkan I-pod-nya dan menikmati lagu - lagu klasik didalamnya yang mengalun lembut.

Aku benar - benar senang ketika Mona mendapat dua tamparan dari Tara – dengan perisai, tentunya – di kelas olahraga saat kami bermain voli yang menyebabkan smash tim lawan menembus garis pertahanan kami. Aku bahkan tidak peduli lagi dengan menang atau kalah, karena Mona jelas - jelas berusaha mencederaiku. Aku terus menghindar dan mencari tempat aman dimana Mona tidak bisa menjangkauku.

Mom dan Dad pasti sudah berkemas, pikirku. Aku sedih harus ditinggalkan lagi, sebetulnya aku bisa saja ikut, tapi aku tidak mau menyusahkan mereka terus, toh mereka jarang liburan dan refreshing, aku seharusnya lebih mengerti mereka.

Perjalanan pulangku cukup menyenangkan, Tara memaksa ikut, begitu pula dengan George dan Max. tetapi ketika kukatakan “ aku harus membantu berkemas” mereka langsung mengurungkan niatnya dan berjalan menuju mobil masing - masing dan pulang. Di perjalanan aku mengemudi dengan hati - hati, jalanan lembab dan licin ini bisa saja mencelakaiku hanya dengan satu kesalahan kecil. Ketika memasuki halaman rumah, aku melihat Mercedes Mom sudah diparkir di garasi.

Dan melihat mobil baruku, terparkir tepat di sebelah Mercedes Mom. Masih tertutup kain parasut abu - abu. Tetaapi aku sama sekali tidak tertarik untuk mengintip.

Dengan sabar, aku memarkir BMW Dad di depan pintu, mematikan mesin dan masuk – miris melihat tumpukan tas dan koper di ruang tamu – lalu segera menuju kamar mandi untuk menjernihkan pikiran dan menyegarkan tubuhku. Air panas yang mengucur dari pancuran melemaskan otot - ototku yang kaku, dan entah kapan aku memulainya, aku menangis.

Kepergian Mom dan Dad memang bukan hal baru bagiku, seperti sudah rutinitas. Mom adalah desainer furnitur dan busana yang cukup mahir, Dad, well dia memang harus sering berpindah sesuai dengan tuntutan pekerjaannya sebagai seorang dokter. Dad jarang bekerja di rumah sakit besar, namun Dad benar - benar orang terpandang di bidang kesehatan dan sekarang Dad sudah memiliki 2 rumah sakit pribadi di LA dan New York. Dad juga memiliki organisasi palang merah yang cukup handal, sehingga tidak asing bagiku untuk menemukan Dad di TV yang disiarkan langsung dari belahan dunia lain yang tak pernah kukunjungi.

Tangisku tak kunjung berhenti, kuseka pipiku yang telah hangat oleh air mata bercampur air panas dari pancuran dengan tanganku. Aku harus berhenti menangis, pikirku. Ini bukan apa – apa, kau sudah 17 tahun Alice, Demi Tuhan, pikirku pada diri sendiri.

Tapi saat ini benar - benar bukan saat yang tepat, aku baru saja nyaris dibunuh dan sekarang Mom dan Dad mau pergi meninggalkanku ke Milan untuk 3-4 bulan atau bahkan lebih, ditambah lagi dengan Aunt Christine yang akan tinggal denganku, bukannya dia menyebalkan, tapi aku tahu dia sibuk, interaksi diantara kami pastilah akan sangat sedikit.

Setengah sadar aku mulai mencuci rambutku, menyikat gigiku dan membebat tubuhku dengan handuk tebal. Ketika keluar dari kamar mandi, aku berhasil menguatkan diriku dan menahan air mataku. Memakai piama yang paling nyaman yang pernah kumiliki seumur hidupku dan menuju ruang makan dimana Mom sudah menyiapkan makan malam dengan aroma yang membuatku meneteskan air liur. Mom langsung menyuruhku duduk dan aku memakan masakannya dengan lahap. Telepon di dapur berdering. Aku bangkit dan mengangkatnya.

“ Hello? Hartman’s Residence” seruku sopan.
“ Samantha Hartman?” tanya suara itu dengan aksen kental.
“ Oh… umm.. who am I talking with?“ jawabku.
“ this is Signor Joe “ jawabnya, mmh, dari Milan, pikirku.

Lalu aku memanggil Mom dan menyerahkan gagang telepon kepadanya.

Mom mulanya tampak tenang, namun menjelang telepon ditutup mulut Mom mengejang, Mom tertawa gugup, mengiyakan dan menutup gagangnya.

“ Kenapa, Mom?” tanyaku, masih berkonsentrasi dengan sup krim jagungku.
“ Besok Mom harus sudah tiba di Milan” ujarnya panik. Dad yang masih menyuap sup krim nya dengan perlahan mulai mempercepatnya.
“ Berarti Mom dan Dad akan berangkat malam ini?” tanyaku, terbengong - bengong.
“ Ya” jawab Mom dan Dad berbarengan.

Mom menghampiri telepon lagi dan – sepertinya – menelepon bandara, berdebat sedikit lalu mengangguk pasrah. Sementara Dad sudah turun dan memanaskan mobil. Melihat kepanikan yang terjadi, aku berinisiatif memeriksa barang bawaan Mom dan Dad, memasukkan paspor, dompet, dan segalanya kedalam tas kecil, lalu mulai memasukkan koper - koper tersebut kedalam BMW Dad – dengan bantuan Dad, tentunya – secepat mungkin. Aku mendengar Mom berlari menuruni tangga dan membanting pintu kamar, Dad juga sudah mematikan mesin dan masuk ke kamar untuk bersiap.

Tinggallah aku sendiri di ruang duduk yang sunyi.

Beberapa menit kemudian Mom sudah keluar dengan pakaian lengkap namun masih mengatur rambutnya yang ikal seperti pegas menjadi kuncir kuda teranggun yang pernah kulihat – tentu saja untuk ukuran orang yang mengikat rambut sambil berlari –. Mom  menghampiriku, mengecup pipiku dan berkata.

“ Christine akan datang lusa dan kau boleh mengundang temanmu menginap malam ini. Kunci semua jendela dan pintu.. dan ohh… apa lagi ya..” ujarnya super cepat.
“ Aku mengerti, Mom, sudah, Mom tidak boleh telat, kan?” ujarku setenang mungkin.

Aku mengunci pintu garasi, mengunci jendela dan menarik semua vitrage hingga menutup, juga mengunci pintu belakang. Ketika aku selesai, Mom dan Dad sudah berpakaian lengkap dan berdiskusi pelan. Ketika melihatku datang, Mom dan Dad memelukku bergantian dan mengucapkan salam perpisahan, memberiku nomor mereka di Milan nanti, lalu menaiki BMW Dad.

Dan pergi.
***
 
Entah sudah berapa lama aku terjaga. Aku terduduk di kasur, tanpa bersuara, tanpa bergerak sejak Mom dan Dad pergi. Aku bahkan tidak menangis…

Kutolehkan kepalaku dengan kaku kearah jam di nakas. Jam menunjukkan pukul 1 lewat 15 malam. Aku beranjak dengan kaku dari tempat tidurku, liontinku bergoyang sesuai dengan irama langkahku saat aku berjalan menuju dapur. Mom meninggalkan 300 dollar di meja makan. Tetapi aku bahkan tidak melirik kearah uang yang tergeletak begitu saja di meja makan. Dengan kaku aku membuat kopi, memasukkan gula dan krim kedalamnya lalu terduduk kaku di meja makan, meminum kopinya perlahan.

Setelah selesai, aku-pun meletakkan gelas dalam bak cuci piring tanpa mencucinya terlebih dahulu. Rumah yang kosong terkesan menakutkan dan sepi mencekam. Aku menggigil, bahkan setelah menarik selimut sampai ke dagu. Aku enggan memejamkan mata.. namun akhirnya – entah kenapa – kantuk menyergapku dan menyeretku secara paksa kedalam mimpi yang tak kuinginkan.

***

Api meretih sementara aku meminum air dalam cangkir tersebut dengan rakus, tenggorokanku seperti disayat - sayat pada setiap teguk air yang kuminum, aku menghiraukan rasa sakit itu dan tetap meminumnya hingga tetes terakhir.

“ Apa kau baik baik saja?” tanya Josh, masih berada di sampingku.
“ Yeah, kurasa begitu.” jawabku ringan.
“ Apa kau bertemu dengan yang lain?”
“ Tidak” jawabku, nadaku turun dan terdengar sangat sedih dan kecewa.
“ Kami beruntung kau masih hidup, kalau tidak ini semua sia - sia saja.” ujarnya.
“ Yeah, kurasa begitu.” jawabku, menggosok - gosok kedua tanganku. Aku kedinginan.
“ Kau kedinginan?” tanya Josh. Apakah aku mengucapkannya keras - keras?
“ Sedikit.” aku berbohong.
“ Sini.” katanya, lalu dia menyampirkan sebelah lengannya, merangkul pundakku.
“ Trims.” ujarku singkat. Kehangatan dari tangannya menjalari punggungku.

Kami duduk berdampingan seperti itu untuk beberapa saat. Sampai kemudian Josh berkata.

“ Mereka disini…” katanya pelan “ …mereka selamat.” lanjutnya.
“ Siapa saja?” tanyaku, kengerian pasti jelas terpatri di wajahku.
“ Hampir semuanya, kecuali…” dia menggantungkan kalimatnya disana.
“ Kecuali…” aku mendesaknya.
“ Kecuali Theo, Max, dan George.” ujarnya, menatap mataku dalam.
“ Sudah kuduga…” ujarku pelan, lalu segalanya meredup… perlahan namun pasti menyedotku ke kegelapan tanpa akhir.

***
 And that's all for part 13. Thanks for reading!

0 komentar:

Post a Comment