CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Thursday, June 9, 2011

Lanjutan Birthstones (13)


Aku sedang berada di kamar mandi ketika Mom dan Dad pulang. Ketika aku keluar kamar mandi aku mencium bau ayam goreng dari dapur, perutku berbunyi. Memakai baju dengan tergesa - gesa, aku langsung berlari menuju dapur dan memakan masakan Mom. Dad hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuanku yang makan dengan lahap.

“ Kudengar dari Coach Craig tadi kau pingsan di kelas olahraga?” tanya Mom tiba - tiba, membuatku tersedak
“ Not a big deal.” jawabku setelah meminum setengah gelas air.
“ Jangan pernah menganggap remeh hal - hal kecil, sayang.” jawab Dad sabar.
“ Yeah, Dad, Okay.” jawabku, membawa piringku ke tempat cuci.
“ Yakin kau baik baik saja, sayang?” tanya Mom.
“ Yeah, Mom.” ujarku, tersenyum sebaik mungkin kepadanya.
“ By the way, your car will be here tomorrow, in the morning.” kata Dad pelan.
“ Really? Well, that’s earlier.” ucapku, berusaha bersikap antusias, tetapi menyerah karena suaraku seperti merajuk.
Well, kau juga tidak terdengar sesenang yang kami harapkan..” ujar Mom, memojokkanku.
“ Apakah aku perlu mengambil pom-pom?” ujarku sinis, meskipun dengan urutan nada yang masih sangat sopan untuk ukuran sinis.

Mom dan Dad hanya mengangkat bahu. Setelah kukeringkan tanganku. Aku bingung apa yang akan kulakukan. Sekarang masih pukul 7 dan aku sudah tidur cukup lama tadi, sekitar 1,5 sampai 2 jam. Minum teh? Aku kekenyangan – thanks to Mom’s fried chicken– dan mungkin gak akan makan sampai besok siang. Main piano, boleh saja sih, tapi kayaknya Mom sibuk, jadi akan lebih baik jika aku tidak menimbulkan bunyi - bunyian. Bagaimana kalau melukis?

Mendengar ide tersebut terbentuk dalam pikiranku, aku berlari menuruni tangga dan dengan cepat mempersiapkan stool – kursi tinggi – untuk melukis, kaki kanvas, dan peralatan lainnya. Setelah semuanya siap, barulah aku memikirkan… apa yang akan kugambar?

Setelah berpikir selama kurang lebih 15 menit, aku tak kunjung menemukan ide. Aku mulai gelisah, pikiranku buntu. Triiing! Sebuah ide tiba tiba muncul di benakku, aku akan mencoba aliran realisme, ini baru bagiku, aku biasanya memakai aliran abstrak atau ekspresionis. Baiklah, sekarang sudah ada kemajuan… aku ingin menggambar…

Josh?

Aku kaget menemukan nama itu dalam pikiranku. Benarkah aku sudah begitu terjebak di dalam….

Tidak, tidak, ah! Bagaimana kalau Dad saja? Pasti Dad senang bukan main melihatku melukis wajahnya, hihi, bisa kubayangkan betapa deras air matanya nanti. Maka, dengan semangat meluap - luap, kugoreskankan pensil diatas kanvas, dan memulai membuat sketsa. Beberapa menit kemudian aku sudah selesai dengan sketsanya, aku mulai menorehkan garis - garis warna pada kanvasku, menemukan sosok orang yang paling kucintai di dunia ini.
***
“ Seharusnya aku minta Dad menjadi model sekalian” kataku, entah untuk keberapa kalinya kepada diriku sendiri.

Well, hasil karyaku tidak bisa dibilang jelek, bahkan bagus, sangat – eh.. ini kata Dad – tetapi tidak sesuai perkiraanku, mungkin memang saat itu sudah terlalu gelap hingga aku salah menorehkan warnanya, atau mungkin aku-nya yang sudah mengantuk – karena pada saat itu ruang hobi begitu… terang benderang! – bagaimana mungkin aku mengambil warna cokelat alih alih hitam?

Aku menghela napas, bagaimanapun kuperbaiki, wajahnya tidak akan berubah. Bahkan rasanya aku sudah mengenal bentuk wajah, alis, pipi, telinga, rambut, bibir, dan mata itu dengan sangat mendalam, tidak hanya untuk waktu yang singkat. Well, Dad tidak jadi menangis, kalau begitu. Pasrah, kutinggalkan sebuah bentuk curahan hatiku diatas kanvas.

Mungkin lebih tepatnya, curahan hatiku tentang Josh…

***
(rabu)
Aku bangun dengan badan kaku, bersyukur kali ini aku tidak bermimpi sama sekali. Aku menggeliat malas - malasan di kasurku, kulirik jam di nakasku, pukul 5 pagi, well kalau begitu, 15 menit lagiiii saja. Pikirku sambil menggulung diriku dalam selimut, memejamkan mata dan…

TAK!!

Mataku terbuka dengan cepat, aku duduk dan menyalakan lampu tidurku, kamarku kosong, aman. Dengan perlahan aku turun dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon, balkon juga tampak sepi, tidak ada orang. Dengan perasaan curiga dan kesal, aku membuka pintu, mengintip lewat vitrage jendela lorong yang tipis. Aku terkesiap, begitu shock hingga terjengkang. Kalau tidak salah…

Aku berlari kembali menuju kamarku, menekan - nekan dengan panik tombol ponselku sementara aku berlari menuruni tangga untuk memanggil Mom atau Dad. Tepat pada deringan kedua, Josh mengangkat.

“ Halo? Al? ada apa? Pagi sekali…”
“ Tolong… aku… bayangan… mengejar… diluar… rumah” ucapku susah payah diantara napas yang tersengal - sengal, kudengar desiran angin di speaker, Josh akan tiba sebentar lagi.

Aku mulai menggedor pintu kamar orangtuaku dengan panik. Terdengar jawaban yang menyuruhku sabar. Aku semakin panik ketika mendengar kunci kamar dibuka dengan sangat perlahan. Saking paniknya, begitu kunci kamar terbuka aku langsung membuka pintu dan masuk, menyalakan lampu dan melihat Dad yang shock memegangi pintu dan Mom yang masih memakai penutup matanya dengan rambut berantakan.

“ Ada apa?” tanya Mom dengan suara mengantuk.
“ Ada sesuatu yang memata - mataiku” ucapku, tersentak saat bel pintu dibunyikan.
“ Itu Josh” ujarku, menelepon Josh lagi, memastikan kalau yang diluar betul dirinya, ternyata benar.

Kubuka pintu, kulihat Josh yang memakai jeans, kaus dan jaket seadanya, rambut berantakan dan mobil yang diparkir tidak lurus. Aku rasanya lega sekali melihatnya, sampai ingin menangis. Mungkin Josh sudah melihat aku akan menangis, jadi dia merangkulku dan mengelus bahuku dengan lembut, menenangkan, hangat, segera saja aku merasa terlindungi dan nyaman, sepertinya rasa ini tidak asing. Tapi aku tak ingat. Semakin keras aku mencoba mengingat, semakin pening kepalaku, akhirnya aku menyerah.

Setelah yakin aku tidak lagi histeris, Josh menanyakan dimana aku melihat bayangan tersebut. Aku menjawab dengan penuh keyakinan kalau dia mengarah tegak lurus dengan aliran sungai dan sekarang bergerak dengan kecepatan penuh berkat ribut - ribut yang kutimbulkan, Sam datang hanya berselang 45 detik setelah Josh, Jinx dan Tara juga datang, mereka berpakaian lengkap dan telah siap berangkat sekolah. Tara dan Jinx akan menjagaku selama aku bersiap ke sekolah. Josh juga berbicara sesuatu tentang Max, George dan Theo, dan aku tidak heran kalau nantinya mereka juga akan membantu mencari. Mom kaget begitu melihatku kembali bersama dua teman wanita.

“ Baiklah, yang mana diantara kalian yang bernama Josh?” sama sekali tidak ada nada curiga dalam perkataan Mom, hanya keingintahuan murni yang tidak dibuat - buat.
“ Oh, bukan begitu, Tante, saya Jinx dan ini Tara” ujar Jinx sopan dengan senyum dibuat - buat – namun 100% meyakinkan, sumpah!-.
“ Oh, baiklah, mungkin kalian mau ikut sarapan? Kalian bisa menunggu di dapur kalau…” Mom memulai.
“ Aw.. Mom, aku sudah janji memberitahu mereka tentang novel yang waktu itu” ujarku melantur tak jelas.
“ Oh, iya! Ada di kamarmu ya?” tanya Tara pura - pura girang.
“ Baiklah kalau begitu, tapi kalau kalian lapar, silakan datang ke ruang makan kami, ya” ujar Mom, tersenyum, lalu menuju dapur.

Aku mandi secepat dan setenang mungkin, Jinx berada di depan kamar mandi sementara Tara di dalam kamarku. Entah apa yang mereka lakukan, tapi aku tahu pasti mereka sama cemasnya denganku. Aku memakai turtleneck cokelat dan jeans biru tua favoritku. Setelah semuanya siap, aku, Jinx dan Tara bersiap sarapan bersama orangtuaku. Mom dan Dad – untungnya – bersikap dengan sangat normal dan tenang. Aku-pun berusaha untuk terlihat tenang, well, meski hanya sampai Mom berkata.

“ Alice, Mom akan ke Milan.”
***

segitu dulu ya, kawaaaan.. maaf nih kalo cerita yang gue post sama sekali gak memusakan hasrat kalian hai para pembaca (?). tapi gue mau mengucapkan a HUGE THANKS AND HUG buat siapapun yang udah nungguin tulisan aneh bin ajaib gue ini. doain aja biar gue bisa mengasah kemampuan gue untuk menulis, jadi gue bisa mengimprove tulisan tulisan gue dan membuat sesuatu yang terus lebih baik. amiiin. oh, and do leave comments ya.. sumpah akhir akhir ini gaada komen sama sekali... (sedihnya hidupku... hiks hiks (?))

0 komentar:

Post a Comment