CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Wednesday, June 29, 2011

Lanjutan Birthstones (17)


Wajahku terbenam dalam dadanya yang bidang. Aroma tubuhnya yang menenangkan memenuhi paru – paruku. Dia memelukku semakin erat saat akhirnya aku menangis. Aku merasa tidak kuat menanggung ini semua, dan sepertinya Sam mengerti. Dia mengusap pelan punggungku, membisikkan kata - kata menenangkan ke telingaku sementara aku menodai kausnya dengan air mata.

Aku mulai kelelahan menangis, sehingga aku hanya terisak kecil. Sam masih terus memelukku, entah untuk berapa lama. Hingga seseorang berdeham. Sam lalu mengendurkan pelukannya, mengusapkan ibu jarinya di sepanjang jalur air mataku, dan pada saat Sam benar – benar melepaskan pelukannya, aku merasa kehilangan.
***
Seperti dugaanku, mulai sekarang sepertinya mereka takkan meninggalkanku tanpa pengawasan. Mereka semua menunggu di ruang tamu, hingga pada pukul 4 sore, sebagian besar sudah menuju rumah masing - masing. Tersisa hanya Tara, aku, Sam dan Josh di rumah.

Tak bisa kupungkiri. Aku tak kuat menghadapi ini semua tanpa mereka. Visi – visi itu semakin sering bermunculan. Terkadang tidak penting, hanya burung gagak, daun - daun pada musim gugur, hutan, suara tawa riang, seseorang menjerit, potongan – potongan kejadian itu terus bermunculan dengan interval yang tidak pasti, dan setiap aku mendapat visi, aku akan tersentak dan seluruh tubuhku menegang.

Sam dan Josh naik ke dapur lebih dahulu. Sementara Tara menemaniku mengabari Mom kalau aku sudah lebih sehat dan besok akan berangkat sekolah. Setelah menutup telepon, aku dan Tara beranjak menuju dapur, aku berhenti hanya 3 meter dari pintu dapur karena mendengar desisan marah Sam.

“ Kau tidak punya hak atas dia!” desisnya.
Aku telah dipilih, tapi kau masuk dan merusak segalanya, dia milikku!” balas Josh.
“ Dan siapa yang meng-klaim hal itu? Kau tetap tak punya hak atasnya. Aku bisa menjaganya lebih baik daripadamu!”
“ Siapa yang…”
“ Aku tidak akan menyerah, tidak kali ini, kita tak akan mempertaruhkan nyawanya lagi hanya karena keegoisan mu yang tak berujung. Aku mencintainya. Aku pernah mengalah untukmu, dan kau membuatku kecewa karena ternyata dia tidak bertahan!” desis Sam dengan nada yang lebih kasar, tegas.

Aku masuk kedalam dapur bersamaan dengan Tara. Josh dan Sam menoleh dan aku berusaha berpura - pura tidak mendengar apapun yang telah mereka katakan. Dengan senyum ceria – yang palsu – aku bertanya pada mereka.

“ Kalian lapar?” aku menoleh dari konter dapur.
“ Yeah… kelaparan,” ujar Sam, tersenyum dan menghampiriku. “ Butuh bantuan?” tanyanya.
“ Tidak, tidak, kalian kan tamu… biar aku yang memasak,” ujarku sambil mendorong dadanya. Lalu menuju kulkas dan mulai mengobrak – abrik isinya.
“ Kau mau masak apa?” tanya Tara penasaran.
“ Entahlah… kalian mau cream soup?” tanyaku.
“ Terserah kau saja,” ujar Josh sedikit ketus.
“ Kau punya masalah?” Sam memulai dengan nada tinggi, tapi Josh hanya mengangkat bahu.
“ Sudah sudah…” aku melerai mereka sambil mengiris daging ayam dan jamurnya.

Aku memasak dengan tenang, Tara bergumam kecil, mendendangkan lagu yang tak kukenal. Sam bersandar di kursi meja makan, earphone-nya sudah terpasang lagi. Sementara itu Josh hanya berdiam, cemberut di kursinya sambil melipat tangan di dada.

Ketika aku melapisi bagian atas mangkuk cream soup-ku dengan kulit pai, telepon berdering. Tara hanya mendongak sedikit, aku menyelesaikan satu mangkuk lagi, memasukkannya kedalam oven baru aku berlari menuju telepon.

“ Hartman’s residence,” sapaku sopan.

Tidak ada jawaban.

“ Halo?” tanyaku lagi.

Tetap tidak ada jawaban, aku langsung menutup telepon.

“ Siapa?” tanya Sam.
“ Entahlah, tidak ada jawaban,” ujarku ringan.

Aku kemudian duduk di samping Tara, Tara tersenyum tipis lalu mulai berbicara pada Sam. Maka aku memulai pembicaraan dengan Josh.

“ Hei,” sapaku.
“ Mmm…” dia hanya bergumam.
“ Kau baik – baik saja?”
“ Kelihatannya?”
“ Well, kau… terlihat agak… marah?” keraguan terdengar dalam pertanyaanku.
“ Memang,” ujarnya.
“ Kenapa?”
“ Kenapa apanya?”
“ Kenapa kau marah?” tanyaku, lagi.
“ Menurutmu?”

Belum sempat aku membuka mulut untuk menjawab, oven sudah berbunyi. Menandakan masakanku yang sudah matang. Dengan agak tergesa – gesa, aku mengambilnya dari oven, meletakkannya di piring saji lalu memberikan masing - masing dari mereka satu mangkuk. Aku duduk di tempatku tadi, mencelupkan kulit pai dengan tidak antusias kedalam sup-ku.

Kami makan dalam diam. Tara berkonsentrasi memakan sup-nya. Sam memakan sup bagiannya dengan tenang, sesekali melirik jendela dan pintu. Sementara Josh bersandar di kursinya, memainkan makanannya seperti anak kecil yang disuruh makan brokoli.

0 komentar:

Post a Comment