CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Tuesday, June 7, 2011

Lanjutan Birthstones (12)


Josh memapahku, sebelah tangannya menyangga pinggangku agar aku tidak merosot dan tangan satunya lagi mengaitkan lenganku ke lehernya. Mataku mulai terasa seperti ditutupi kabut tipis dan benda - benda disekelilingku mulai memudar di sisi - sisinya. Josh membuka pintu mobilku dengan kunci otomatis dan membantuku naik ke kursi penumpang. Aku berdiam diri selama perjalanan, sadar betul kalau aroma tubuhnya memenuhi kabin mobil, baunya… nyaman, hangat dan – entah kenapa – familiar.

***
Aku sadar betul kalau rumahku kosong dan hanya ada aku dan Jinx dalam kamarku saat itu, sementara Sam dan Josh sedang berdiskusi tentang penyakitku, Jinx dengan sabar membantuku berganti baju dan membuka beberapa jendela di kamarku agar udara segar bisa masuk. Baru beberapa detik setelah aku mulai merebahkan diri di tempat tidur, Josh dan Sam masuk.

“ Bagaimana keadaanmu?” tanya Josh cemas dari ambang pintu, kelihatan ragu untuk masuk. Aku hanya tersenyum menanggapi.
“ Maaf, Al, yang ini harus dilepas.” ujar Sam pelan sambil memegang liontin kalungku.
“ Tidak” ujarku kasar, entah mendapat kekuatan dari mana, aku merenggut liontin itu lepas dari jari - jarinya.
“ Al, kalungmu harus dilepas, aku harus tahu apa masalahnya.” bujuknya pelan.
“ Kubilang, tidak!” ujarku, bahkan dengan nada yang lebih berapi -api dari yang sebelumnya.
“ Alice…” ujar Jinx pelan.
“ I said NO!” ujarku, membentaknya dan duduk.
“ Okay… take it easy…” ujar Sam sambil merebahkanku kembali di bantal.

Dia lalu menggenggam tanganku dengan kedua tangannya. Beberapa menit dalam diam, sementara aku mulai merasakan efek dari marah - marah ku tadi, aku pasrah, membenamkan diriku lebih dalam di tumpukan bantal bulu angsaku.

“ Ini… tidak baik, aliran chi-nya terhalang, pasti Mona yang melakukannya, cepat juga dia belajar.” ujarnya pelan sambil melepaskan genggamannya.
“ Alice, kumohon lepas kalungmu, kau boleh memegangnya, tapi jangan dipakai untuk… beberapa jam kedepan.” ujar Josh pelan, akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamarku juga, duduk di samping Sam dan mengelus pelan tanganku.

Sekelebat warna melintas di pikiranku, aku tersentak pelan, namun aku mencoba untuk tenang, dan…

“ Baiklah” ujarku lemah dan mengangkat tanganku untuk melepas kalungku, aku membiarkannya tergeletak diatas kasur. Sam memandang Josh, aku bisa melihat kilatan di matanya yang gelap.

Aku kemudian memandang tangan Josh yang telah melepaskan tanganku, aku memaksakan diri duduk lebih tegak. Semua langsung bereaksi, namun aku mengangkat tanganku, mencegah. Aku teringat kelebatan warna tadi.

“ Josh, berikan tanganmu.” ujarku pelan, dengan ekspresi bingung dia mengulurkan tangannya, aku menyambutnya.

Dan saat itulah aku tersentak.

Segalanya berkelebat cepat, seperti saat kau mengebut dengan kecepatan 180  kilometer per jam di jalan tol, aku berusaha memfokuskan pandanganku pada objek - objek kabur di pikiranku, namun sebelum aku bisa melihat apapun, Josh menarik tangannya.

“ Al?” tanyanya, sambil mengguncang bahuku, aku mengerjap.
“ Kau baik baik saja?” tanya Jinx, wajahnya cemas.
“ Alice, kau…”
“ Aku melihatnya! Aku melihatnya!” ujarku.
“ Melihat apa?” tanya Josh.
“ Visinya. Masa depan…”

Josh dan Jinx menatapku heran, Sam memandang dalam ke mataku. Dia lalu berdiri dan keluar ruangan, diikuti Josh. Jinx sedang berbicara dengan Tara, kata - katanya mengalir begitu cepat hingga aku sama sekali tidak menangkap maksudnya. Kepalaku mulai pening lagi. Aku memejamkan mataku, dan tertidur.

***
Desiran angin begitu kuat dan meniup rambutku, dia melepaskan pelukannya dan aku segera merasakan dinginnya angin hutan menusuk hingga ke tulang, gigiku gemeletuk, dia lalu melepas jaketnya dan menyampirkannya di bahuku.

“ Kau pasti kedinginan.” ujarnya lembut, dia lalu menghampiri api unggun dan menyerahkan sepotong burung bakar kepadaku. “ Makanlah.” ujarnya, menyodorkan makananku itu dan berdiri lagi lalu memutari lapangan.

Aku makan dalam diam, aku kelaparan, setiap serat daging yang menempel di tulang habis kugigiti, sekarang aku kehausan. Aku hendak bertanya kepada pria tadi. Namun dia sudah disana, di sampingku, menyodorkan gelas stainless berisi penuh air, wajahnya tersinari cahaya api unggun, dia tersenyum.

“ Josh?” desahku pelan.

Sekali lagi api meretih.

***
Samar - samar aku mendengar suara orang, aku berguling di tempat tidur, memejamkan mata lagi, aku lelah.

Suara - suara itu terdengar semakin jelas, aku mulai terganggu. Akhirnya aku memutuskan untuk bangun. Kukerjapkan mataku untuk melihat siapa yang berada di kamar, ternyata kamarku kosong. Kepalaku sudah tak terlalu sakit lagi, jadi aku memutuskan untuk bangun dan keluar kamar. Di lorong-pun kosong, begitu juga dapur, aku menuruni tangga dengan perlahan, dan melihat Tara, Josh dan Sam sedang berdebat tentang sesuatu yang belum kutangkap. Ketika Sam melihatku menuruni tangga sendirian, dia langsung menghampiriku dan membantuku duduk. Tangannya memegang lengan atasku dengan kuat.

“ Kau sudah baikan?” tanyanya.
“ Hmm.” ucapku sambil menganggukkan kepalaku perlahan. “ Mana Jinx?”
“ Dia pulang, kau tahu, dia tinggal sendiri, jadi… yah…” jawab Tara “ Dengar, Al, aku benar - benar minta maaf aku tidak menjagamu…” dia memulai, namun aku menghentikannya.
“ Bukan salahmu” ujarku sambil menunggu Sam yang sedang memeriksaku.
“ Aliran chi-mu sudah normal.” kata Sam dan dia melepaskan genggamannya di tanganku.

Aku menaiki tangga lagi, masuk ke kamarku dan mengambil kalungku yang sudah dipindahkan ke nakas, entah oleh siapa. Lalu aku turun dan memakainya.

“ Kami harus pulang, Al.” ujar Tara, sudah berdiri di ambang pintu.
“ Secepat itu? Aku akan mengantar kalian.” ujarku, menyambar kunci mobil dari meja.
“ Tidak, kami akan naik mobil Josh.” ujar Sam, menganggukkan dagunya kearah Josh yang masih duduk di loveseat putih-ku.
“ Oh, baiklah kalau begitu, terimakasih sudah menemaniku.” ujarku, tersenyum.
“ Ayo, Josh.” ajak Sam.
“ Kalian duluan saja.” ujarnya pelan, Sam dan Tara-pun keluar.

Pintu ditutup dan Josh melangkah mendekatiku.

“ Jaga dirimu, Al, aku tidak mau kehilangan kau lagi, tidak kali ini.” ujarnya memegang lengan atasku dengan lembut, lalu dia mengecup pipiku dan keluar.

Beberapa detik kemudian, aku menyadari.

Jantungku berhenti berdetak ketika dia mengecupku.

***
hahahahahaha, ternyata ada yang kecanduan *lirikmamal.. inilah bukti rasa sayangku pada kalian para fans *fans apanya! -_- thanks for reading, leave a comment yaaa love you all!!!

0 komentar:

Post a Comment